Kamis, Juli 10, 2025
Google search engine
BerandaOpini PublikJangan Mencela Hujan

Jangan Mencela Hujan

Penulis: Jujun Suryana (Staf di Kantor Asda Pemkesra Jabar)

Hujan kerap datang tanpa permisi, dengan rintik atau deras. Ia mengguyur jalan, membuat pakaian basah, menyebabkan kemacetan, menggenangi trotoar, bahkan banjir hingga memutus rencana. Lalu, tanpa sadar, kita seringkali mengeluh, mengumpat, atau mencelanya.

“Aduh, hujan lagi.” “Mana jemuran belum kering”. “Pasti jalanan macet.” “Jadi batal deh acaranya.” Hujan seolah jadi biang keladi semua kekacauan. Seakan-akan, langit telah bersalah karena memilih waktu yang salah untuk menangis.

Benarkah hujan pantas dicela?

Mencela hujan sama dengan mencela bagian dari kehidupan. Kita tidak bisa meminta hari selalu terang, sebagaimana kita tidak bisa berharap hidup selalu mudah. Dari hujan, kita belajar: apakah kita mampu melihat berkah di balik setiap tetesan airnya? Apakah kita bisa menemukan kehangatan dalam suasana yang dingin?

Hujan adalah bagian dari keseimbangan alam. Hujan adalah bagian dari ekosistem yang menjaga kita tetap hidup. Ia adalah proses panjang dari siklus kehidupan. Uap air dari lautan terangkat, membentuk awan, mengembun, dan akhirnya kembali turun membawa kehidupan.

Maka, ketika langit mulai mendung, mari belajar bersyukur. Ia turun bukan untuk mengacaukan, melainkan menyuburkan. Menghijaukan rerumputan dan hamparan sawah, menumbuhkan pepohonan di dalam hutan yang lebat, mengalirkan air tanah yang melimpah. Ia turun bukan untuk menyusahkan, melainkan menyapa bumi yang lelah.

Lebih Dari Sekadar Air yang Jatuh

Hujan bukan sekadar air yang jatuh dari langit. Ia adalah penghubung langit dan bumi, jembatan antara kering dan basah, antara kekosongan dan pertumbuhan. Ia adalah penyejuk bagi tanah yang retak. Ia adalah untaian doa yang dilangitkan oleh jutaan petani. Ia adalah jeda bagi dunia yang tak pernah diam.

Hujan adalah anugerah terindah yang diturunkan Tuhan, tapi sering dilupakan. Hanya karena ia tak selalu datang dalam waktu yang “tepat” menurut manusia. Dan kita saja yang terlalu cepat menyalahkan hujan karena ia datang di waktu yang tak sesuai rencana dan keinginan manusia. Padahal, ia tak pernah diturunkan di waktu yang salah. Namun, apakah semua yang tak sesuai rencana itu buruk? Bukankah di sana selalu tersimpan pelajaran?

Bayangkan dunia tanpa hujan. Tanah menjadi tandus dan gersang, sungai-sungai menyusut, pohon-pohon meranggas, dan udara dipenuhi debu. Tak ada aroma tanah basah yang menenangkan. Petani akan menatap langit dengan cemas, anak-anak akan kehilangan genangan untuk bermain, dan kita semua akan mati kehausan.

Sajak-Sajak dari Langit

Hujan bukan hanya fenomena alam, tapi juga simbol. Dalam sastra dan lagu, hujan sering kali hadir sebagai metafora: tentang rindu, kesedihan, atau awal sesuatu yang baru.

Bukankah banyak momen paling puitis terjadi saat hujan? Seorang ibu yang duduk terdiam sambil menatap hujan dari balik jendela rumahnya, menunggu kepulangan anak tercintanya. Sepasang kekasih yang berlarian menembus hujan. Anak-anak kecil yang menari tertawa riang di tengah air hujan yang berjatuhan.

Bahkan kesendirian pun terasa lebih jujur ketika hujan turun dan merasakan sesuatu dalam dada yang sulit dijelaskan. Entah kenangan, entah keinginan untuk kembali pada sesuatu yang lama terlupakan.

Belajar Diam, Sabar dan Menerima

Di era serba cepat ini: semuanya serba instan, serba terukur, serba dikejar. Maka ketika hujan datang memaksa kita untuk berhenti karena jalan tergenang dan macet, sepatu yang basah jemputan terlambat, atau payung tertinggal. Padahal, semua itu bisa jadi momen jeda yang tak disadari yang kita butuhkan, saat tidak bisa berbuat apa-apa, kecuali menunggu.

Hujan adalah pelajaran tentang kesabaran dan penerimaan. Tentang menyadari dan memahami bahwa kita tidak bisa mengendalikan segalanya. Tentang berserah diri, bukan untuk menyerah; untuk memahami ritme alam, bukan melawannya.

Begitulah hidup. Semua tidak akan berjalan sesuai rencana. Tidak semua terang sepanjang waktu. Kadang kita perlu hujan dalam hidup untuk membersihkan juga menyadarkan bahwa kita masih hidup, masih bernafas, masih memiliki rasa.

Mari Mendengarkan Hujan

Berteduhlah, diamlah sebentar saat hujan. Jangan mengeluh. Ia adalah bentuk cinta yang turun dari langit pada bumi. Ia hanya ingin mengajak kita diam sebentar untuk merasa, untuk mengenang, untuk bersyukur.

Dengarkan suara rintiknya, rasakan udara yang berubah, hirup wangi tanah yang basah. Ia adalah berkah yang menyamar.

RELATED ARTICLES

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

- Advertisment -
Google search engine
Google search engine
Google search engine
Google search engine

Most Popular

Recent Comments