Penulis: Jujun Suryana (Staf di kantor Asda Pemkesra Jabar)
Setiap manusia pasti pernah bertanya saat jatuh di titik terendah hidupnya: “Apakah ini memang takdirku?” Pertanyaan itu, sederhana tapi menggugah, menjadi benang merah dari pencarian makna dalam kehidupan yang kompleks ini. Namun, sebenarnya, ada apa dengan takdir?
Antara Kepastian dan Pilihan
Takdir dalam pemahaman umum sering diartikan sebagai sesuatu yang sudah digariskan. Sejak manusia belum menghirup napas pertama, konon jalan hidupnya telah tertulis di Lauhul Mahfudz. Kapan lahirnya, rezekinya, siapa jodohnya, bagaimana akhir hidupnya semuanya telah diatur.
Namun di sisi lain, hidup memperlihatkan bukti yang justru bertolak belakang. Kita diberi akal, hati, dan kehendak. Kita diberi pilihan: ingin sekolah di mana, bekerja di mana, mencintai siapa. Kita bisa gagal karena malas, bisa sukses karena tekun. Jika semuanya telah ditentukan, mengapa masih perlu berusaha?
Inilah paradoks takdir antara ketetapan Illahi dan kebebasan manusia. Sebagian orang menyerah pada keadaan karena merasa tak bisa melawan takdir. Sebagian lainnya percaya bahwa nasib bisa diubah oleh pilihan dan kerja keras. Dan barangkali, kebenaran ada di antara keduanya.
Ketika Takdir Menjadi Kambing Hitam
Tak jarang, takdir dijadikan alasan untuk berhenti mencoba. “Sudah takdir saya,” kata seseorang yang enggan belajar atau bekerja keras. “Mungkin takdir saya tidak berjodoh dengannya,” ucap orang lain saat hubungan retak bukan karena takdir, tapi ego dan komunikasi yang buruk.
Di sinilah letak bahaya memahami takdir secara pasif. Ia bisa berubah dari hikmah menjadi dalih. Kita melepaskan tanggung jawab pribadi, lalu menyandarkan segalanya pada hal yang tak bisa kita ubah. Padahal dalam banyak ajaran termasuk dalam Islam dan berbagai falsafah Timur, takdir adalah ladang untuk bertindak, bukan alasan untuk diam.
Takdir sebagai Ruang Dialog, Bukan Titik Henti
Orang bijak tak melihat takdir sebagai jalan satu arah. Mereka melihatnya sebagai percakapan antara langit dan bumi, antara Tuhan dan manusia. Takdir bukan tulisan kaku di batu, melainkan undangan untuk memahami, merenung, dan bergerak.
Misalnya, jika seseorang kehilangan pekerjaan, ia bisa mengutuk takdir dan meratapi nasib. Tapi ia juga bisa menjadikannya momen untuk bertumbuh, mencari makna baru. Mungkin justru menemukan jalan hidup yang lebih sejati. Dalam konteks ini, takdir tidak mengurung, tapi membuka pintu-pintu alternatif.
Di sinilah pentingnya ikhtiar dan doa dua sayap utama yang membawa manusia terbang di atas nasibnya. Dengan ikhtiar, kita bergerak. Dengan doa, kita menyelaraskan diri pada kehendak yang lebih besar.
Menerima, Bukan Menyerah
Memahami takdir adalah seni menerima tanpa menyerah. Seperti petani yang tak bisa mengatur hujan, tapi bisa memilih waktu menanam terbaik. Seperti nelayan atau pelaut yang tak bisa mengubah arah angin, tapi bisa mengatur layar.
Menerima takdir adalah bentuk tertinggi dari kerendahan hati. Tapi menyerah pada takdir sebelum berusaha adalah bentuk paling halus dari keputusasaan. Keduanya tampak serupa di luar, tapi sangat berbeda di dalam.
Ada Apa dengan Takdir?
Ada apa dengan takdir? Ia bukan musuh, bukan kawan yang memanjakan, bukan pula rantai yang membelenggu. Ia adalah cermin. Ia memperlihatkan siapa kita saat dihadapkan pada hal-hal yang di luar kendali.
Takdir tidak datang untuk ditakuti, tapi untuk dipahami. Ia bukan akhir dari cerita, melainkan permulaan dari pencarian. Dan selama kita masih hidup, kita diberi ruang untuk memilih bukan takdir yang kita mau, tapi bagaimana cara kita menyikapinya.
Itulah takdir. Bukan soal apa yang terjadi, tapi siapa kita saat itu terjadi