Oleh: Asep Tapip Yani
(Dosen Pascasarjana UMIBA Jakarta)
Ketika Tahta Tak Lagi Sakral
Ketika sebuah bangsa mulai membicarakan pemakzulan, itu tandanya ada sesuatu yang serius sedang terjadi. Pemakzulan bukan sekadar soal prosedur hukum. Ia adalah sinyal krisis kepercayaan, baik terhadap sistem maupun terhadap sosok yang sedang duduk di kursi kekuasaan.
Pemakzulan, atau impeachment, selalu menjadi kata yang terasa berat. Ia mengandung getar kekuasaan yang sedang digugat. Ia bukan sekadar proses hukum atau prosedur parlemen, tetapi sebuah momen politis yang bisa mengguncang sendi-sendi negara. Dalam sejarah demokrasi, pemakzulan lebih dari sekadar jatuhnya seorang pemimpin ia adalah cermin dari pergulatan antara hukum, etika, dan kekuasaan.
Wacana pemakzulan Wapres Gibran Rakabuming Raka yang mencuat belakangan ini misalnya, menunjukkan bahwa persoalan yang menyentuh etika dan moral publik bisa menggerus legitimasi politik, meskipun belum tentu melanggar hukum secara formal.
Perspektif Konstitusional: Dasar Hukum Pemakzulan
Konstitusi Indonesia, khususnya Pasal 7A dan 7B UUD 1945, membuka pintu untuk pemakzulan Presiden dan Wakil Presiden. Syaratnya pun tidak ringan: harus terbukti melakukan pelanggaran hukum berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, atau perbuatan tercela. Prosesnya melibatkan Mahkamah Konstitusi dan persetujuan DPR serta MPR.
Namun di sinilah ironi muncul: konstitusi memberi mekanisme formal, tapi tafsir “perbuatan tercela” dan “pelanggaran hukum” sering kali lentur dalam ruang politik.
Perspektif Etika: Moralitas Pemimpin di Ujung Tanduk
Etika publik menuntut pemimpin sebagai sosok teladan bukan hanya bersih secara hukum, tapi juga secara moral. Pemimpin yang terlibat dalam konflik kepentingan, nepotisme, manipulasi aturan, atau pelanggaran prinsip keadilan sosial, sering kali kehilangan legitimasi moral meski secara hukum masih “aman”.
Di sinilah muncul konsep “pemakzulan etis”. Misalnya, dalam kasus pelanggaran netralitas dalam pemilu, rekayasa hukum untuk menyokong kekuasaan keluarga, atau ketidakadilan sistemik yang dibiarkan. Apakah itu cukup untuk dimakzulkan? Belum tentu secara hukum, tapi sangat mungkin secara etika.
Namun mari jujur: berapa banyak kasus dalam sejarah kita yang secara hukum “bersih”, tapi secara etika dan moral justru menyisakan luka di hati rakyat?
Pemakzulan bukan hanya soal pasal dan ayat, tapi juga soal rasa. Dan rasa rakyat hari-hari ini sedang tak karuan: kecewa, muak, dan curiga pada praktik kekuasaan yang kian familier dengan dinasti.
Perspektif Politik: Pemakzulan sebagai Alat atau Amanat?
Pemakzulan bukan semata-mata instrumen konstitusional, tetapi juga arena kontestasi politik. Di berbagai negara, pemakzulan sering digunakan sebagai senjata oposisi untuk menggulingkan penguasa, bahkan ketika alasan hukumnya lemah. Ini yang menjadikannya berbahaya: pemakzulan bisa berubah dari “mekanisme keadilan” menjadi “instrumen kudeta legal”.
Di negara demokratis, pemakzulan adalah mekanisme konstitusional yang sah. Ia bukan kudeta. Ia bukan makar. Ia justru jalan hukum agar rakyat bisa meluruskan arah kekuasaan tanpa harus menunggu lima tahun berikutnya. Namun sayangnya, pemakzulan juga bisa dipakai sebagai senjata politik oleh oposisi yang sedang haus kuasa, atau kelompok tertentu yang melihat celah.
Di Indonesia, wacana pemakzulan terhadap pejabat tinggi seperti Wapres Gibran Rakabuming Raka, menunjukkan bahwa isu ini bukan sekadar soal hukum, tapi tentang persepsi publik, legitimasi demokratis, dan aroma nepotisme yang ditangkap rakyat.
Pertanyaannya: apakah saat ini wacana pemakzulan lahir dari semangat koreksi sistem, atau hanya manuver politik menjelang transisi kekuasaan? Just question.
Perspektif Sosial: Rakyat sebagai Hakim Sejati
Dalam demokrasi, rakyat adalah pemilik kedaulatan tertinggi. Pemimpin bisa dimakzulkan oleh hukum atau oleh sejarah. Banyak pemimpin yang tidak pernah dimakzulkan secara formal, tapi secara sosial kehilangan kepercayaan dan dilengserkan oleh tekanan publik demo besar-besaran, gerakan sipil, atau boikot massal.
Pemakzulan sosial ini justru lebih kuat dampaknya. Ia lahir dari rasa kecewa kolektif, frustrasi atas janji-janji yang diingkari, dan ketidakadilan yang dipelihara. Maka dalam era media sosial, ketika suara publik bisa viral dalam hitungan menit, legitimasi pemimpin diuji setiap hari.
Sehebat-hebatnya sidang Mahkamah Konstitusi atau Rapat Paripurna DPR, tetap saja ada satu hakim yang paling ditakuti dalam demokrasi: RAKYAT. Pemimpin yang kehilangan legitimasi sosial sebenarnya sudah “dimakzulkan”, meski belum secara hukum. Ia hanya tinggal menunggu waktu untuk kehilangan kekuasaan secara de facto.
Jika rakyat terus bicara, media terus menyorot, dan suara-suara sipil makin nyaring, maka tak ada jabatan yang bisa merasa nyaman duduk di atas bara.
Perspektif Filosofis: Kekuasaan Itu Amanah, Bukan Warisan
Di atas semua perspektif itu, pemakzulan adalah pengingat bahwa kekuasaan bukan milik pribadi. Kekuasaan adalah amanah yang bisa dicabut jika dikhianati. Dalam pandangan filsafat politik, seperti yang diajarkan oleh John Locke dan Rousseau, kontrak sosial antara rakyat dan penguasa bersifat sakral. Bila penguasa melanggar kontrak itu, rakyat berhak mencabut mandatnya.
Mari kita bicara jernih. Jangan menganggap pemakzulan sebagai hal yang tabu. Tapi jangan juga menjadikannya senjata mainan. Jika pemakzulan dilakukan demi menjaga integritas konstitusi, ia pantas diperjuangkan. Tapi jika hanya karena ingin mengganti wajah, tanpa menyentuh akar masalah korupsi sistemik, dinasti politik, dan etika publik yang tumpul maka itu bukan revolusi, melainkan rotasi kepentingan.
Di sinilah letak substansi pemakzulan: bukan sekadar menggulingkan, tapi mengoreksi arah bangsa. Ia adalah peringatan bahwa kekuasaan yang abai pada suara rakyat dan keadilan akan kehilangan legitimasinya lambat atau cepat.
Menjaga Marwah Demokrasi
Demokrasi sehat bukan yang anti-pemakzulan. Demokrasi sehat justru menyediakan ruang aman untuk bicara soal pemakzulan, tanpa diancam, dibungkam, atau dicap makar. Sebab sesungguhnya, pemakzulan adalah alat rem. Ia mencegah kekuasaan melaju tanpa kendali. Tapi kita juga harus ingat: rem pun harus dipakai hati-hati. Salah-salah, justru kendaraan demokrasinya yang terguling.
Pemakzulan bukan hal tabu. Ia adalah mekanisme demokratis untuk melindungi negara dari penyalahgunaan kekuasaan. Tapi ia juga bukan sekadar alat politis untuk menggulingkan lawan. Ia harus dijaga kesakralannya hanya digunakan bila keadilan, moralitas, dan hukum benar-benar terlanggar. Jika kita mempermainkan pemakzulan, kita mempermainkan demokrasi. Tapi jika kita takut bicara soal pemakzulan, kita mungkin sedang menormalisasi penyimpangan. “Jika kekuasaan menyimpang, pemakzulan bukan pengkhianatan. Ia justru penyelamatan.” (ATY)