Penulis: Dr. Ny. Hj. Umnia Labibah S.Th.i, M.Si (Pengasuh Pondok Pesantren Miftahul Huda, Rawalo Banyuma)
Hari Arafah, demikian disebutnya. Manusia dikumpulkan di Lembah Arafah nan gersang, berkain ihram, datang dari berbagai penjuru dunia. Berduyun-duyun, dalam berbagai keaadanya.
Allah megilustrasikan keadaan ini dalam surah al-Hajj ayat 27, disebutkan مِن كُلِّ فَجٍّ عَمِيقٍ, “dari segenap penjuru yang jauh”. Sungguh ini adalah pemandangan yang begitu menakjubkan, jutaan manusia berkumpul dari berbagai kewarganegaraan yang berbeda, sebagai bagian dari wujud keagungan Agama Allah. Ayat ini juga menyebutkan bagaimana Allah dengan penuh Rahmat menyambut tamu-tamu Allah, meski tamu itu diibaratkan dalam keadaan yang lusuh dan penuh derita, يَأْتُوكَ رِجَالًا وَعَلَىٰ كُلِّ ضَامِرٍ (dengan kendaraan onta yang kurus). Lazimnya manusia, akan menyambut tamu-tamu yang Istimewa yang datang dengan kendaraan yang mewah, tetapi tidak demikian dengan Tuhan. Tuhan menyambut tamu-tamunya yang datang dari berbagai penjuru dengan berbagai keadaanya, meski bahkan tamu yang datang dengan onta yang kurus sekalipun.
Di Arafah, adalah arena pertemuan manusia dengan Tuhannya. Tentu pertemuan ini bukan dalam makna pertemuan jasmaniyah, maka di Arafah manusia di minta berdiam diri, untuk berdzikir dan bertafakkur. Merenung dan mengingat Tuhannya. Berdialog dengan dirinya, bermuhasabah, berjalan menyusuri lorong perjalanan hidupnya. Betapa perjalanan telah sedemikian menjauhkan manusia dengan Yang Maha Sejati, yang sebenarnya sangat dekat dengan dirinya, dengan hatinya. Betapa manusia telah begitu banyak melupakan Sang Kekasih Yang Agung, yang Maha Pengasih yang kasihnya tiada pernah tebang pilih. Betapa manusia sibuk mencari bahagia, mengumpulkan harta dunia, mencari validasi dirinya, menuruti egonya, memuaskan nafsunya, tetapi lupa kebahagian sejatinya, adalah ketundukannya pada Sang Maha Pencipta.
Di Arafah, manusia berkumpul dalam simbol kesucian. Seperti demikianlah manusia akan berpulang kelak, tanpa harta, tanpa jabatan, tanpa keluarga, tanpa saudara, tanpa teman, hanya dengan kain putih menutup tubuhnya. Di Arafah, Tuhan menyapa manusia, turun ke langit dunia. Kepada siapa saja yang membuka tabir hatinya, man ‘arafa nafsahu ‘arafa rabbahu. Allah menyentuh kalbu-kalbu yang merindu, kalbu yang menyeru. Hati yang gelisah, terluka, sakit, kecewa, kalah, lemah. Allah menyapa hati yang lelah, yang memanggil tuhannya: “Rabb, aku datang, dengan segala kelemahanku, dengan segala kebodohanku,….rengkuhlah aku…”
Arafah, hingga matahari terbenam. Membenamkan peluh dan keluh manusia, dalam doa dan munajat. Dalam indahnya berjumpa dengan Yang Maha Indah, Yang Maha Rahman. Di Arafah, berdiam diri bersama matahari yang berjalan perlahan menuju ufuk, seperti itu hidup, berjalan menuju surup. Menuju waktu Kembali kepada Tuhannya. Dalam waktu yang berjalan lambat, dalam gersang tandus tanah Arafah, dalam kesadaran penuh betapa lemahnya diri di hadapan Tuhannya. Betapa besar kuasa-Nya dan betapa luas Rahmat-Nya. Di Arafah, tersingkapnya tabir manusia dengan Tuhannya, hingga Rasululloh bersabda: “haji adalah Arafah”.
Tangis dan Bahagia, takjub dan terpesona, anugerah luar biasa merasakan desir angin hangat Arafah. Takjub dalam penyaksian atas keagungannya, yang luluh dalam bahagia atas lembut rengkuh Tuhan dalam Rahmat-Nya. Tangan-tangan menengadah, mata-mata tertutup, tetapi hati manusia-manusia itu berisik, asyik dalam musyahadah. Rongga hati penuh sesak oleh rasa, penuh keyakinan dan kebahagiaan. Bisik lirih bibir manusia:
“Ya Allah…, Engkau mendengar ucapanku, melihat tempatku, mengetahui rahasia dan kenyataanku. Tidak tersembunyi bagi-Mu sesuatu persoalanku. Aku adalah penderita, aku sangat membutuhkan-Mu. Aku pemohon bantuan dan perlindungan yang diliputi takut dan khawatir. Yang mengakui dosa-dosaku. Aku bermohon kepada-Mu, sebagai pemohon yang miskin yang berdosa lagi Hina. Aku bermohon kepada-Mu sebagai pemohon yang takut lagi buta, yang tunduk dirinya, yang berlinang air matanya, dan lemah jasadnya, taka da kuasa. Demi Engkau ya Allah,…jangan jadikan aku wahai tuhanku, kecewa dengan doaku. Jadilah bagiku, Yang Maha Penyantun lagi maha Pengasih. Ya Rabb, engkau sebaik-baik yang dipinta, dan sebaik-baik pemberi…”
للّٰھُمَّ اِنَّکَ تَسْمَعُ کَلاَمِیْ وَتَرٰی مَکَانِیْ وَتَعْلَمُ سِرِّیْ وَعَلاَنِیِتِیْ وَلاَیَخْفٰی عَلَیْکَ شَیْئٌ مِنْ اَمْرِیْ وَاَنَا الْبَائِسُ الْفَقِیْرُ الْمُسْتَغِیْثُ الْمُسْتَجِیْرُ الْوَجِلُ الْمُشْفِقُ الْمُقِرُّ الْمُعْتَرِفُ بِذَنْبِیْ اَسَأَلُکَ مَسْئَلَۃَ الْمِسْکِیْنِ وَابْتَھِلُ اِلَیْکَ اِبْتِھَالَ الْمُذْنِبِ الذَّلِیْلِ وَاَدْعُوْکَ دُعَائَ الْخَائِفِ الضَّرِیْر وَدُعَائَ مَنْ خَضَعَتْ لَکَ رَقْبَتُہٗ وَفَاضَتْ لَکَ عَبْرَتُہٗ وَذَلَّ لَکَ جِسْمُہٗ وَرَغِمَ لَکَ اَنْفُہٗ اَللّٰھُمَّ لاَ تَجْعَلَنِیْ بِدُعَائِکَ شَقِیًّا وَّکُنْ لِّیْ رَئُوْفَا رَّحِیْمًا یَا خَیْرَ الْمَسْئُوْلِیْنَ وَیَا خَیْرَ الْمُعْطِیْنَ
Dalam desir hati, penuh harap di hari Arafah
Indonesia, 5 Juni 2025