Oleh: Asep Tapip Yani
(Dosen Pascasarjana UMIBA Jakarta)
“Pancasila bukan hanya untuk diucapkan, tetapi untuk dihidupi.”— Soekarno
Dalam pergolakan zaman yang makin kompleks, masyarakat Indonesia terombang-ambing antara kemajuan teknologi dan kemunduran moral, antara demokrasi prosedural dan ketidakadilan struktural. Di tengah hiruk-pikuk krisis integritas, krisis kepemimpinan, krisis keadilan, dan krisis persatuan, muncul satu pertanyaan mendasar: Apakah kita sungguh-sungguh telah mengamalkan Pancasila, atau hanya menjadikannya simbol kosong?
Jika jawabannya yang kedua, maka jangan heran bila persoalan bangsa ini tak kunjung selesai. Karena sejatinya, jika Pancasila benar-benar diimplementasikan dalam seluruh aspek kehidupan berbangsa dan bernegara, sebagian besar masalah bangsa Indonesia akan terselesaikan dari akarnya.
Bayangkan sebuah negeri dengan penduduk majemuk yang saling menghormati, pemimpin yang jujur dan adil, ekonomi yang berkeadilan, dan kehidupan sosial yang harmonis. Negeri itu bukan utopia. Negeri itu bisa jadi Indonesia, jika Pancasila benar-benar diimplementasikan, bukan sekadar dihafalkan.
Pancasila: Bukan Sekadar Dasar, Tapi Pedoman Hidup
Sejak 1 Juni 1945, Pancasila dirumuskan sebagai dasar negara. Namun lebih dari itu, ia adalah bintang penuntun (leitstar) kehidupan berbangsa. Lima sila yang terkandung dalam Pancasila bukanlah sekadar kumpulan kalimat indah, tapi kompas moral dan ideologis yang jika dijalankan mampu menyelesaikan hampir semua persoalan bangsa.
Ketuhanan yang Maha Esa, sila pertama, menegaskan pentingnya kehidupan spiritual yang membentuk manusia beriman dan berakhlak. Jika benar-benar dihayati, pejabat tak akan korup, rakyat tak akan culas, dan hukum tak akan bisa dibeli.
Kemanusiaan yang Adil dan Beradab, sila kedua, mengamanatkan penghormatan pada nilai-nilai universal kemanusiaan. Diskriminasi, rasisme, kekerasan atas nama apapun akan lenyap jika nilai ini diterapkan dalam hukum, kebijakan, dan budaya.
Persatuan Indonesia, sila ketiga, menjadi jangkar dalam pusaran identitas kedaerahan, agama, dan golongan. Implementasi sila ini membuat bangsa Indonesia tak mudah dipecah belah oleh politik identitas maupun provokasi disintegrasi.
Kerakyatan yang Dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan/Perwakilan, sila keempat, adalah rumusan demokrasi khas Indonesia: bukan sekadar suara terbanyak, tapi keputusan terbaik lewat musyawarah. Jika dijalankan, takkan ada polarisasi ekstrem, apalagi oligarki yang membajak demokrasi.
Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia, sila kelima, adalah jawaban atas jurang kesenjangan sosial yang kian lebar. Ketimpangan ekonomi, penguasaan lahan oleh segelintir orang, hingga problem pengangguran bisa diurai dengan keadilan distributif seperti yang dikehendaki sila ini.
Pancasila sebagai Paradigma Solusi Bangsa
Dalam teori negara, Pancasila memiliki kedudukan sebagai dasar filsafat negara (philosophische grondslag) sekaligus ideologi terbuka yang dinamis. Artinya, ia bukan dogma kaku, melainkan ideologi yang terus relevan dalam menjawab tantangan zaman. Franz Magnis-Suseno menyebut Pancasila sebagai “rumusan kebijaksanaan historis bangsa Indonesia untuk hidup bersama dalam keadilan dan persatuan.”
Lima sila dalam Pancasila merepresentasikan lima dimensi fundamental dari persoalan kebangsaan:
- Dimensi spiritual dan moral (Sila 1): Masalah korupsi, dekadensi moral, dan kebobrokan etika publik bersumber dari hilangnya kesadaran Ketuhanan. Jika nilai ini menjadi pedoman nyata, maka integritas akan menjadi standar utama dalam kepemimpinan dan birokrasi.
- Dimensi kemanusiaan (Sila 2): Kasus pelanggaran HAM, persekusi minoritas, diskriminasi sosial, dan kekerasan berbasis identitas menunjukkan lemahnya keberadaban sosial. Implementasi nilai “adil dan beradab” akan memuliakan setiap warga tanpa memandang latar belakangnya.
- Dimensi persatuan (Sila 3): Polarisasi politik, ekstremisme, dan retorika kebencian tumbuh subur karena lunturnya kesadaran akan pentingnya “Indonesia” sebagai identitas bersama. Pancasila menolak nasionalisme sempit maupun sektarianisme eksklusif.
- Dimensi demokrasi (Sila 4): Krisis representasi, money politics, dan oligarki menunjukkan betapa demokrasi telah dibajak. Padahal Pancasila menawarkan demokrasi khas Indonesia: musyawarah berbasis kebijaksanaan.
- Dimensi keadilan sosial (Sila 5): Ketimpangan ekonomi dan kemiskinan struktural adalah bukti nyata gagalnya keadilan distributif. Pancasila menekankan bahwa pembangunan harus berorientasi pada kesejahteraan seluruh rakyat, bukan hanya segelintir elite.
“Selama keadilan sosial belum terwujud, selama itu pula Pancasila belum selesai dihidupi.”— Gus Dur
Mengapa Pancasila Tak Pernah Selesai Diimplementasikan?
Masalahnya bukan pada ideologinya, melainkan pada kehendak dan konsistensi politik dalam mengimplementasikannya. Prof. Koentjaraningrat, pakar antropologi Indonesia, menyebut bahwa banyak elite kita mengalami “split-level morality” moral publik dan moral pribadi yang terpisah. Di ruang publik bicara Pancasila, tapi di ruang privat berkompromi dengan nepotisme dan manipulasi kekuasaan.
Pancasila gagal menjadi budaya hidup karena selama ini hanya dijadikan formalitas: disampaikan dalam pidato, ditempel di dinding sekolah, dijadikan tema lomba 17-an tetapi tidak diinternalisasi dalam sistem pendidikan, hukum, ekonomi, dan politik.
Masalahnya bukan pada Pancasila. Masalahnya pada implementasinya yang setengah hati, bahkan kadang dikaburkan demi kepentingan pragmatis jangka pendek. Pancasila dijadikan jargon saat kampanye, hiasan dinding kantor pemerintah, atau tema upacara sekolah, tapi tidak membentuk kebijakan yang konkret dan berkelanjutan.
Pendidikan Pancasila kerap gagal menyentuh ranah kesadaran dan tindakan. Ia diajarkan dalam bentuk doktrin, bukan inspirasi. Dalam birokrasi, Pancasila dibaca dalam apel, namun dilanggar dalam praktik. Dalam politik, Pancasila digembar-gemborkan, tetapi partai dan elitnya justru tak mencerminkan nilai-nilainya.
Kajian Filosofis dan Historis: Pancasila sebagai Jalan Tengah
Secara filosofis, Pancasila bukanlah sintesis kompromistis, tetapi jalan tengah produktif. Ia lahir dari proses panjang perdebatan ideologis antara kelompok nasionalis, Islamis, dan sosialis. Bung Karno menyebut Pancasila sebagai “kristalisasi nilai-nilai luhur bangsa Indonesia dari Sabang sampai Merauke.”
Bila ideologi lain kerap berujung pada eksklusivitas kapitalisme yang rakus, komunisme yang represif, teokrasi yang tertutup maka Pancasila menawarkan kebangsaan inklusif, religius tanpa fanatisme, humanistik tanpa sekularisme ekstrem, dan demokratis tanpa liberalisme liar.
Langkah Implementasi Nyata: Dari Utopia ke Kenyataan
Pancasila tidak bisa hidup hanya dalam wacana. Ia harus ditransformasikan dalam bentuk:
- Pendidikan karakter berbasis nilai Pancasila sejak dini, bukan sekadar hafalan, tapi pembiasaan.
- Reformasi birokrasi dan hukum yang menjunjung nilai keadilan dan integritas, bukan sekadar efisiensi.
- Demokrasi substansial yang mengedepankan musyawarah, bukan hanya menang-menangan.
- Ekonomi kerakyatan yang memajukan koperasi, UMKM, dan sistem distribusi kekayaan yang adil.
“Pancasila itu tidak perlu dipertentangkan.
Yang perlu adalah dilaksanakan.”—Moh. Hatta
Haruskah Menunggu Krisis Besar untuk Sadar?
Bangsa Indonesia seringkali baru bersatu dan kembali ke nilai-nilai luhur saat krisis besar melanda. Tsunami, bencana alam, atau ancaman bersama menyadarkan kita akan pentingnya solidaritas, keadilan, dan persatuan. Padahal, seharusnya Pancasila menjadi pola hidup sehari-hari sebelum krisis, bukan setelahnya.
Implementasi Pancasila sejatinya adalah kerja sistemik. Ia harus menjadi napas pendidikan, ruh peraturan perundangan, dan dasar pengambilan keputusan politik maupun ekonomi. Mulai dari kepala desa hingga presiden, dari guru hingga youtuber, dari petani hingga pemodal besar semua harus menghidupi Pancasila.
Solusi Sudah Ada, Tinggal Mau atau Tidak
Bangsa ini tidak kekurangan solusi. Kita hanya sering kali menutup mata pada jawaban yang sudah ada. Pancasila bukan sekadar warisan Bung Karno, tapi jalan keluar dari karut-marutnya bangsa ini jika kita bersedia mengimplementasikannya dengan sungguh-sungguh.
Karena itu, pertanyaannya bukan lagi: apakah Pancasila masih relevan? Tapi: apakah kita benar-benar mau menjadikannya nyata? Jika iya, percayalah: sebagian besar persoalan bangsa Indonesia akan selesai.
Jangan Menunggu Hancur untuk Sadar
Kita tidak boleh menunggu bangsa ini ambruk akibat perpecahan, kerusakan moral, dan ketimpangan sosial baru kemudian menyesal karena telah mengabaikan Pancasila. Solusi sudah ada. Rumusannya sudah jelas. Jalan keluar sudah ditunjukkan oleh para pendiri bangsa.
Yang dibutuhkan kini hanyalah kemauan kolektif dan keteladanan elite untuk mewujudkannya.
“Pancasila adalah jembatan emas menuju Indonesia yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil, dan makmur. Jangan sia-siakan jembatan ini.” — Soekarno
Jika Pancasila benar-benar diimplementasikan dalam kebijakan, pendidikan, ekonomi, hukum, dan budaya bukan mustahil Indonesia bukan hanya bangkit, tapi menjadi bangsa besar yang bermartabat dan disegani dunia.