Oleh: Asep Tapip Yani
(Dosen Pascasarjana UMIBA Jakarta)
“Keberagaman bukan masalah yang harus diselesaikan, tapi anugerah yang harus dikelola.”
Indonesia adalah mozaik agung. Dari Sabang sampai Merauke, dari Miangas sampai Rote, terhampar ribuan budaya, bahasa, agama, suku, dan pandangan hidup. Tapi, keberagaman ini ibarat pisau bermata dua: ia bisa menjadi kekuatan luar biasa atau bara konflik yang tak kunjung padam. Di tengah riuhnya polarisasi politik, fanatisme sempit, dan misinformasi digital, pertanyaan mendesak muncul: bagaimana kita tetap menjadi Indonesia?
Jawabannya hanya satu: penguatan kohesi sosial dan pengembangan wawasan multikultural. Tapi ini bukan proyek normatif. Ini revolusi kesadaran.
Kohesi Sosial: Bukan Sekadar Bersatu, Tapi Terkoneksi
Banyak bangsa bersatu karena hukum dan sistem. Tapi tak semua merasa terkoneksi. Kohesi sosial adalah lem batin yang menyatukan masyarakat bukan karena aturan, tapi karena rasa memiliki bersama.
1. Membangun Kesadaran dan Empati
Empati adalah mata ketiga. Ia melihat dari sudut pandang orang lain. Ketika kita belajar memahami perasaan minoritas, kegelisahan masyarakat adat, atau keresahan kelompok marjinal, kita sedang menanam benih kohesi. Tanpa empati, nasionalisme berubah menjadi chauvinisme, dan persatuan hanya ilusi administratif.
2. Membangun Komunikasi Antar-Kelompok
Perbedaan tak selalu menghasilkan konflik asal komunikasi dijembatani. Media sosial seharusnya jadi ruang dialog, bukan ruang debat kusir. Sekolah, kampus, tempat ibadah, hingga warung kopi harus menjadi ruang dialog antarmanusia, bukan menara isolasi sosial.
3. Membangun Komunitas sebagai Ruang Perjumpaan
Proyek pembangunan tanpa membangun komunitas akan menghasilkan kota yang sibuk tapi sunyi, padat tapi terasing. Maka, kegiatan lintas budaya, lintas agama, dan lintas usia harus dijadikan ritus kolektif baru. Dari festival budaya, kerja bakti lintas RT, sampai lomba masak antaragama, semua adalah bentuk “pedagogi kohesi”.
Wawasan Multikultural:
Belajar Hidup Bersama, Bukan Sekadar Hidup Bersebelahan
Multikulturalisme bukan slogan. Ia adalah cara berpikir dan bersikap yang menyadari bahwa dunia ini tidak bisa dibentuk dari satu warna, satu suara, atau satu kebenaran saja.
1. Mengenal dan Menghargai Keragaman
Kita tak bisa mencintai apa yang tak kita kenal. Maka, mengenalkan ragam budaya, agama, dan tradisi lokal harus masuk ke ruang-ruang edukasi formal dan informal. Bukan hanya tentang toleransi, tapi juga tentang apresiasi dan selebrasi. Kita harus belajar bukan hanya menerima perbedaan, tapi merayakannya.
2. Kesadaran Akan Pentingnya Perbedaan
Perbedaan bukan batu sandungan, tapi tangga evolusi sosial. Dari keragaman, lahirlah kreativitas. Dari dialektika pandangan, lahir sintesis kemajuan. Maka, sistem sosial dan kebijakan publik harus berhenti memaksakan “keseragaman demi stabilitas” dan mulai merawat “keragaman demi kekuatan.”
3. Pendidikan Multikultural sebagai Pilar Baru
Pendidikan hari ini tak cukup hanya mengajar IPA dan Matematika. Ia harus:
- Membuka wawasan lintas budaya sejak dini.
- Mengajarkan sejarah secara inklusif, tidak bias satu kelompok.
- Mengembangkan empati lintas identitas.
Sekolah harus jadi ruang simulasi masyarakat majemuk, bukan tempat homogenisasi nilai.
Tujuan Akhir: Masyarakat yang Harmonis, Inklusif, dan Damai
Bukan sekadar hidup berdampingan, tapi hidup saling menguatkan. Di dunia yang makin terglobalisasi dan rentan konflik, bangsa yang bisa mengelola keragamannya akan menjadi bangsa masa depan. Indonesia bisa jadi contoh dunia jika mampu menunjukkan bahwa perbedaan bukan hambatan, tapi modal peradaban.
Kutipan Inspiratif Tokoh Dunia
“Peace is not unity in similarity but unity in diversity, in the comparison and conciliation of differences.” — Mikhail Gorbachev
“If we cannot end now our differences, at least we can help make the world safe for diversity.” — John F. Kennedy
“Diversity is not about how we differ. Diversity is about embracing one another’s uniqueness.” — Ola Joseph
Kohesi Sosial adalah Proyek Bangsa, Bukan Tugas Negara
Negara bisa mengatur, tapi hanya masyarakat yang bisa mengikat. Kohesi sosial dan multikulturalisme bukan agenda lima tahun, tapi proyek seumur hidup. Jika kita gagal merekatkan yang tercerai, generasi mendatang hanya akan mewarisi nama “Indonesia”, tanpa makna “kita”.
Karena Indonesia bukan sekadar satu wilayah, tapi satu rasa untuk hidup bersama di tengah perbedaan.