(Sebuah Otopsi Kultural atas Tradisi Curang yang Diagungkan)
Oleh: Asep Tapip Yani
(Dosen Pascasarjana UMIBA Jakarta)
“Bukan Cuma Sekedar Lirik”
Di ruang sunyi, pena gemetar,
Jawaban lenyap dari ingatan samar.
Sepasang mata mencari sandaran,
Pada lembar kawan, bukan kemampuan.
“Hanya sekali,” katanya lirih,
Tapi esok kembali menari di sisi.
Mencontek bukan karena bodoh,
Tapi karena takut terlihat bodoh.
Kalau mencuri itu dosa, maka menyontek adalah ibadah berjemaah.
Dilakukan ramai-ramai, disaksikan pengawas, direstui guru, dan didiamkan kepala sekolah. Dan hasilnya? Nilai sempurna.
Bangsa kita memang tak pernah kekurangan cara untuk menjadi pintar tanpa belajar. Bayangkan, dari kecil kita diajarkan: “Jujur pangkal miskin, licik pangkal ranking.”
Kalau dulu nyontek dilakukan sembunyi-sembunyi, sekarang sering jadi aksi berjemaah. Ada yang lempar kertas kecil, bisik-bisik, bahkan yang pakai teknologi super canggih. Di tengah tuntutan nilai tinggi dan sistem pendidikan yang belum berpihak pada proses belajar, menyontek menjadi “jalan pintas legal” yang ironisnya, dianggap biasa.
Seorang guru bercerita di Twitter tentang pengalaman, dulu, saat mengawas ujian nasional beberapa tahun lalu. Ia dikucilkan oleh rekan-rekannya karena tidak mau membacakan “kunci jawaban” yang dibagikan sekolah. Alasannya? Supaya nilai sekolah tidak anjlok dan tetap mendapat akreditasi tinggi. Di sini, nyontek tidak hanya terjadi di level siswa, tapi jadi konspirasi sistemik.
Era digital bikin nyontek makin futuristic. Pakai smartwatch, kamera mini, earpiece mikro. AI seperti ChatGPT (eh! he he!) disalahgunakan buat jawab soal. Tapi teknologi juga bisa jadi solusi: proctoring AI, software anti-plagiarisme, sistem penilaian berbasis portofolio.
Dalam perspektif etika, nyontek adalah bentuk utilitarianisme sesat: hasil baik (nilai tinggi) tapi cara buruk (curang). Dalam etika deontologis, nyontek itu salah, apapun alasannya. Eksistensialisme menganggap nyontek sebagai pengkhianatan terhadap keotentikan diri—tidak menjadi manusia seutuhnya, hanya peniru.
Mengapa Mereka Nyontek?
Ada beberapa alasan umum kenapa siswa (atau bahkan mahasiswa dan guru) menyontek:
- Takut gagal dan tekanan nilai tinggi.
- Ketidaksiapan menghadapi ujian karena belajar hanya formalitas.
- Lingkungan permisif: nyontek dianggap wajar karena “semua orang melakukannya”.
- Kurangnya pendidikan integritas: jujur dianggap pilihan, bukan prinsip.
Dampak Buruk Nyontek
- Merusak karakter sejak dini.
- Menurunkan kualitas sumber daya manusia.
- Menjadikan ketidakjujuran sebagai budaya kerja di masa depan.
- Menghilangkan kepercayaan pada sistem evaluasi dan pendidikan.
Menyontek: Bukan Budaya Gotong Royong
Tak ada yang lebih Indonesia daripada kerja sama. Termasuk kerja sama dalam mencontek. Tak ada yang lebih sakral dalam tradisi pendidikan Indonesia selain “ujian”. Dan tak ada yang lebih khusyuk selain “menyontek bersama”. Ini bukan sekadar tindakan ilegal ini ritual komunal. Satu orang belajar, sepuluh orang ikut ujian. Bukankah itu efisiensi sumber daya? Menyontek dianggap sebagai bentuk solidaritas, bukan pelanggaran. Satu siswa belajar, sisanya tinggal mendekat. Guru tahu, tapi pura-pura tak lihat. Pengawas hadir, tapi asal tidak ribut.
Menurut penelitian UGM (2021), 74% mahasiswa pernah menyontek dalam ujian.
Tapi, entah kenapa, tidak ada satu pun yang merasa dirinya “curang”. Mereka hanya “menyesuaikan diri dengan sistem”. Mereka menyebutnya “strategi bertahan hidup akademik”. Seperti pepatah lokal baru: “Kalau kamu tidak nyontek, kamu tidak akan naik tingkat. Tapi kalau kamu nyontek, kamu tidak akan naik derajat.”
Sistem Pendidikan: Pabrik Nilai, Bukan Tempat Belajar
Sekolah kita lebih mirip pabrik: mencetak produk dengan standar mutu nilai angka. Siapa yang dapat angka tinggi, dialah yang dianggap berhasil. Bukan soal paham atau tidak, tapi soal dapat 100 atau tidak. Kita mencetak manusia bukan untuk jadi pembelajar, tapi untuk jadi ranking 1.
Kurikulum padat. Guru stres. Murid tertekan. Dan dari pusaran ini, lahirlah dewa-dewi contek-menyontek. Mereka tidak dibentuk untuk belajar, tapi untuk menghafal dan mengalahkan. Dan di tengah itu semua: menyontek menjadi solusi spiritual. Ujian pun bukan lagi alat ukur kemampuan, melainkan ajang siapa paling jago tipu-tipu tanpa ketahuan.”Kita diajari menjawab, bukan memahami. Diajak mengejar hasil, bukan mencintai proses.”
Dari Meja Sekolah ke Panggung Politik
Coba lihat ke dunia politik. Mencontek visi misi dari partai sebelah? Sudah biasa.
Plagiarisme skripsi atau pidato? Ah, itu tradisi. Nepotisme dan manipulasi data? Level dewa. Politisi menjiplak pidato. Pejabat meniru program lawan. Kandidat copy-paste visi misi. Bahkan gelar akademik pun bisa dicontek, dibeli, atau dimanipulasi.
Pendidikan kita berhasil. Karena benih nyontek di bangku sekolah tumbuh subur hingga kursi kekuasaan. Karena praktik menyontek di bangku sekolah, telah menjelma jadi pilar utama pengambilan kebijakan nasional. Kita tidak sedang mencetak ilmuwan, tapi tukang salin berjubah gelar. Mentalitas copy-paste bukan hanya merusak dunia akademik, tapi juga menghancurkan integritas publik.
Bagaimana Dunia Menyikapi Nyontek?
Berbagai negara menyikapi perilaku menyontek dengan serius, bukan sekadar sebagai pelanggaran kecil, melainkan sebagai pelanggaran integritas yang bisa berdampak panjang.
Korea Selatan misalnya, menerapkan sistem pengawasan ujian yang sangat ketat. Kamera pengawas, pembatasan akses teknologi, dan hukuman sosial menjadi cara mereka menjaga kredibilitas akademik. Di beberapa kasus, siswa yang ketahuan menyontek dikeluarkan dan dicoret dari rekor akademik nasional.
Finlandia, negara dengan sistem pendidikan terbaik, justru tidak menempatkan tekanan berlebihan pada ujian. Karena tidak ada ujian nasional berstandar tinggi, siswa belajar dengan tenang dan jujur. Menyontek bukan bagian dari budaya mereka karena proses belajar lebih dihargai daripada angka.
Amerika Serikat menindak tegas plagiarisme dan menyontek di universitas. Mahasiswa bisa dikeluarkan, dicoret gelarnya, bahkan diblacklist dari kampus manapun. Setiap karya akademik dicek melalui sistem plagiarism checker. Integritas akademik jadi fondasi utama.
Singapura menggunakan teknologi canggih dan sistem pengawasan berlapis saat ujian. Selain itu, mereka punya sistem pendidikan meritokratis yang membuat siswa memahami bahwa usaha jauh lebih bernilai daripada jalan pintas.
Sementara itu di Indonesia? Mungkin, nyontek dianggap sebagai kenakalan remaja, bukan kejahatan intelektual. Maka tak heran, kita menuai panen pejabat palsu, gelar palsu, dan janji palsu.
Solusi? Ada, Tapi Harus Siap Dicap Aneh
Bagaimana menghentikan nyontek? Pertama, ubah sistem penilaian. Fokus pada proses, bukan hasil. Kedua, bentuk karakter jujur sejak kecil—bukan sekadar jargon di dinding kelas. Ketiga, guru dan orang tua harus jadi teladan, bukan fasilitator kebohongan.
Dan yang paling penting: beri ruang untuk gagal. Biar siswa tahu, gagal itu bukan akhir dunia. Justru dari gagal, lahir pemahaman dan ketekunan.
Tapi ingat, semua itu butuh keberanian. Karena di negeri ini, jujur kadang dianggap aneh. Bayangkan sekolah di mana:
- Gagal itu tidak memalukan.
- Jujur itu bukan slogan, tapi budaya.
- Nilai bukan segalanya, tapi proses yang dihargai.
Itu impian. Tapi bisa jadi kenyataan kalau kita berani bikin sistem yang waras.
Mau Sampai Kapan Jadi Peniru?
Nyontek itu bukan bawaan lahir. Ia warisan budaya yang dibentuk oleh sistem, tekanan sosial, dan nilai-nilai semu. Kita bisa saja ikut-ikutan, atau kita bisa memilih jadi pemberontak yang belajar jujur, meski sulit. Karena dunia ini butuh orang pintar, tapi lebih butuh orang jujur.
Bangsa yang besar adalah bangsa yang bisa meniru dengan presisi. Eh, salah! Bangsa yang besar adalah bangsa yang jujur, bahkan saat tak ada yang melihat. Bangsa ini tidak kekurangan orang pintar. Tapi kita kekurangan orang jujur. Menyontek bukan soal kecerdasan. Tapi soal siapa kita sebenarnya.
Kalau kita ingin generasi hebat, mulai dari bangku sekolah. Ajari mereka berpikir, bukan menghafal. Ajari mereka jujur, bukan meniru. Ajari mereka gagal dengan bangga, bukan menang dengan curang. Mencontek bukan soal pintar atau bodoh,tapi soal integritas. Dan integritas itu, tidak bisa disalin dari bangku sebelah karena integritas itu tidak bisa disalin. Integritas hanya bisa ditanam, dirawat, dan diwariskan.