Senin, April 28, 2025
Google search engine
BerandaLintas BahasaOpen Marriage: Cinta Tanpa Kandang, Hasrat Tanpa Tanggung Jawab?

Open Marriage: Cinta Tanpa Kandang, Hasrat Tanpa Tanggung Jawab?

Oleh: Asep Tapip Yani

(Dosen Pascasarjana UMIBA Jakarta)

“CINTA TANPA TALI”

Ada cinta yang tak mau dikurung,
Terbang dari satu dada ke dada lain,
Mengaku jujur, padahal menghindar tanggung.

Di antara ranjang dan janji,
Ada yang lupa:
Cinta sejati tak pernah minta dibagi.

“Monogami hanyalah salah satu sistem relasi yang dibentuk oleh budaya. Cinta bisa tetap hidup di luar eksklusivitas.” Esther Perel, Psikoterapis & Penulis Mating in Captivity (Pro Open Marriage).

“Kebebasan seksual tanpa tanggung jawab bukanlah kebebasan, itu hanya bentuk lain dari perbudakan oleh nafsu.” C.S. Lewis, Filsuf & Penulis (Kontra Open Marriage).

“Aku mencintainya, tapi aku juga ingin mencintai yang lain.” Kalimat ini bukan kutipan film indie, bukan pula status random di Twitter. Ini pernyataan nyata dari pelaku open marriage yang berpendidikan, publik figur, bahkan dalam beberapa kasus pejabat publik. Yah sodara-sodara, kita hidup di era ketika pernikahan bukan lagi soal kesetiaan, tapi soal negosiasi hasrat. Naudzubillah.

Mahluk Bernama Open Marriage

Open marriage, atau dalam istilah gaulnya: pernikahan terbuka, adalah perjanjian antara dua orang yang menikah untuk tidak eksklusif secara seksual. Jadi, boleh “main ke kandang sebelah”, asal jangan baper, asal izin, asal sama-sama tahu. Tapi pertanyaannya: beneran bisa gak sih? Manusia itu bukan robot. Hati bukan logaritma. Hubungan bukan spreadsheet yang bisa dikalkulasi per jatah.

Dibungkus Etika, Dibelah Logika

Public figure yang mengaku pelaku open marriage sering membungkus ini dengan kata-kata elegan: kesadaran kolektif, kematangan emosi, kedewasaan seksual, bahkan self healing. Padahal, kalau dikupas sampai tulangnya, open marriage seringkali bukan bentuk kebebasan, tapi justru bentuk kepasrahan terhadap hasrat. Logika ditekuk, etika disumpal, semua demi satu kata: puas.

Mereka berkata, “Kami terbuka dan jujur.” Tapi, apakah kejujuran lantas melegalkan pengkhianatan?

Kalau Rakyat Dilarang Selingkuh, Tapi Pejabatnya Open Marriage?

Nah ini sodara-sodara, yang bikin kepala nyut-nyutan.

Pejabat publik adalah wajah negara. Etika mereka bukan cuma milik pribadi, tapi simbol moral publik. Kalau mereka dengan santai mempopulerkan konsep open marriage yang jelas-jelas nyimpang dari norma sosial dan agama mayoritas, maka bukan cuma rumah tangga mereka yang dibuka… tapi juga potensi kerusakan kolektif dalam struktur sosial. Anak muda bisa bilang: “Ah, pemimpin aja boleh, masa gue enggak?”

Kita ini hidup di negeri yang fondasi budayanya penuh nilai kekeluargaan, kesetiaan, dan tanggung jawab. Bukan cuma aturan agama, tapi juga warisan kearifan lokal. Lantas ketika orang-orang di puncak justru melegitimasi nafsu, apa kabar masa depan institusi keluarga?

Open Marriage = Open Damage?

Mari jujur: banyak yang menyuarakan open marriage tapi diam-diam menyimpan luka. Cemburu, ketidakpastian, kehilangan makna ikatan, anak-anak yang tumbuh dalam kebingungan moral. Ini bukan sekadar pilihan gaya hidup—ini bom waktu nilai. Cinta yang dilepas dari komitmen hanyalah liar tanpa arah.

Kita tidak sedang menghadapi sekadar perubahan budaya. Ini adalah pergeseran nilai yang bisa menghantam fondasi sosial. Kalau cinta bukan lagi soal kesetiaan, maka keluarga bukan lagi rumah—tapi terminal hasrat, tempat singgah sebelum pindah ke pelukan lain body.

DAMPAK OPEN MARRIAGE

1. Psikologis:

  • Rasa cemburu ekstrem
  • Kecemasan eksistensial (aku penting gak sih?)
  • Ketidakpastian identitas dalam relasi

2. Sosial:

  • Distorsi makna keluarga
  • Normalisasi gaya hidup permisif
  • Anak tumbuh dalam dilema nilai

3. Moral & Budaya:

  • Tabrakan dengan norma agama dan budaya
  • Relativisme moral akut
  • Krisis institusi pernikahan

REDEFINISI “TERBUKA”

Open marriage katanya soal keterbukaan. Tapi keterbukaan pada apa?
Terbuka pada godaan?
Terbuka pada luka?
Atau justru terbuka pada kehancuran perlahan-lahan yang dikemas indah?

Kita sedang hidup dalam era ketika “bebas” dianggap setara dengan “benar”. Padahal tidak semua yang bisa dilakukan, patut dilakukan. Pejabat publik yang mempopulerkan konsep ini bukan hanya sedang bermain api di rumahnya sendiri—tapi juga menyalakan obor di tengah ladang kering masyarakat.

KEBEBASAN YANG MENYALAHI DIRI SENDIRI

Open marriage mungkin tampak modern, tapi di dalamnya bisa tersembunyi kekosongan spiritual, kehausan emosional, dan kegagalan membangun keintiman sejati. Kalau cinta tak lagi punya batas, maka luka pun akan kehilangan arah.

“Di dunia yang serba terbuka, mungkin yang kita butuhkan justru satu pelukan yang tertutup untuk semua kecuali satu.”

Di dunia yang katanya modern ini, open marriage dianggap solusi. Tapi mungkin kita sedang membangun dunia di mana semua pintu terbuka, tapi tak satu pun menjadi rumah.

“Jangan bilang cinta kalau kau sedang menanam luka.”

 https://www.youtube.com/watch?v=wHy-ptfVMWs

RELATED ARTICLES

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

- Advertisment -
Google search engine
Google search engine
Google search engine
Google search engine
Google search engine
Google search engine
Google search engine

Most Popular

Recent Comments