Oleh: Asep Tapip Yani
(Dosen Pascasarjana UMIBA Jakarta)
Di dunia ini, memaafkan adalah mata uang yang terdepresiasi.
Sedangkan dendam? Ia jadi investasi emosional, yang dividen-nya berupa likes, views, dan standing ovation dari netizen haus konflik.
Kita hidup di era di mana kesalahan bukan untuk ditegur, tapi dipamerkan.
Bukan untuk diperbaiki, tapi diputar jadi konten—dishare, dihakimi, diabadikan dalam highlight story yang penuh bara.
“Maaf telah berubah jadi kelemahan.”
“Mengalah dianggap kalah.”
“Melupakan? Itu hanya untuk yang gagal membalas.”
Di sinilah kita sekarang, sodara-sodara.
Sebuah dunia absurd—di mana dendam bukan lagi dosa, tapi status sosial.
Semakin anda menyimpan luka, semakin anda dianggap “kuat.”
Semakin anda menggali masa lalu orang lain, semakin anda terlihat “berani.”
Dan yang paling sakit: Semakin anda kejam, semakin anda viral.
Algoritma Tidak Mengenal Pengampunan
Dunia digital kita diatur oleh algoritma—dan algoritma tidak punya empati.
Ia tidak mengenal maaf, ia hanya mengenali yang menarik perhatian.
Dan yang paling menarik? Konflik. Drama. Balas dendam.
Maka lahirlah influencer-influencer spiritual yang mengajarkan “healing” sambil membakar nama mantan.
Konten motivasi yang memberi semangat “move on” dengan menginjak harga diri orang lain.
Dan publik figur yang menuai simpati bukan karena bijak, tapi karena dendamnya relatable.
Sampai Kapan Kita Menggenggam Pisau Masa Lalu?
Bayangkan tangan anda, sodara-sodara.
Terbakar luka lama.
Tapi tetap anda genggam pisau itu—karena anda pikir, satu hari nanti, bisa anda tancapkan kembali ke dada orang yang menyakiti anda.
Pertanyaannya: Masihkah ia peduli?
Masihkah mereka mengingat luka yang anda bawa setiap malam itu?
Atau hanya anda, satu-satunya tahanan dari penjara emosional yang anda bangun sendiri?
Maaf Itu Revolusi
Memaafkan itu bukan membenarkan kesalahan.
Bukan juga melupakan pengkhianatan.
Memaafkan adalah pemberontakan terhadap logika dunia.
Karena dunia ingin kamu marah. Dunia ingin kamu berdendam.
Tapi kamu… memilih untuk lepas.
Itu mind-blowing. Itu radikal. Itu spiritual.
Itu… absurd.
Dunia Tanpa Maaf Adalah Dunia Tanpa Nafas
Jika dunia tanpa maaf terus berjalan, maka emosi jadi komoditas, luka jadi portofolio, dan hati jadi lahan tambang.
Kita semua jadi zombie sosial—memakan dendam satu sama lain, tanpa pernah benar-benar kenyang.
“Jangan-jangan, yang kita sebut perjuangan… hanyalah putaran dendam yang diwariskan.”
Dan yang kita kira kekuatan… hanyalah kelemahan yang dipoles dengan ego.
Gema Dendam
Dunia ini sunyi tanpa maaf,
Hanya gema dendam yang bergema lirih.
Kita bersorak saat orang lain runtuh,
Tapi tak sadar, kita juga ambruk dalam hati yang penuh perih.