Oleh: Asep Tapip Yani
(Dosen Pascasarjana UMIBA Jakarta)
Indonesia seperti rumah besar yang sedang retak di semua sisi: fondasi ideologi mengelupas, atap ekonomi bocor, dinding sosial rengkah, kabel budaya konslet, dan jendela moral sudah buram. Tapi penghuni rumah ini tetap optimistis sebagian, karena sungguh percaya, sebagian karena tak tahu harus ke mana.
Badai belum pasti berlalu. Bahkan, dalam banyak kasus, badai itu adalah bagian dari desain: diciptakan, dipelihara, dan dikelola oleh mereka yang justru terlihat memimpin perahu. Kita tidak sedang menunggu hari cerah. Kita sedang terbiasa hidup dalam kegelapan yang dianggap normal.
“Tenang, ini hanya badai sebentar…”
Sudah sepuluh tahun kita dihibur oleh kalimat itu. Tapi realitasnya, badai tak kunjung reda. Bahkan, sering kali yang dianggap “badai” ternyata justru sistem yang bekerja seperti biasa. Di negeri ini, absurditas bukan gangguan. Ia adalah mekanisme.
Satu dekade terakhir, Indonesia seperti kapal besar yang diterjang gelombang bukan karena cuaca buruk, tapi karena nakhoda mabuk kekuasaan, para awak mabuk kepentingan, dan para penumpang sudah terlalu lelah untuk peduli. Kita tidak sedang menunggu badai berlalu. Kita sedang belajar hidup di dalamnya.
Krisis Ideologi: Ketika Pancasila Jadi Poster, Bukan Prinsip
Satu dekade terakhir, kita menyaksikan degradasi nilai ideologi Pancasila menjadi alat legitimasi politik belaka. Ia bukan lagi inspirasi, tapi instrumen. Lembaga-lembaga negara bicara Pancasila sambil meloloskan kebijakan yang bertentangan dengan keadilan sosial. Narasi kebangsaan digaungkan, tetapi dalam praktiknya, negara ikut dalam proses diskriminasi sosial, baik terhadap minoritas agama, kelompok adat, maupun kelas bawah.
Menurut survei LIPI (2021), generasi muda Indonesia mengalami ambiguitas dalam memahami nilai-nilai kebangsaan. Sebagian besar tahu nama silanya, tapi tak bisa menjelaskan maknanya.
Pancasila makin sering disebut, makin jarang dirasa. Ia berubah jadi mantra upacara dan alat represi. Di ruang publik, ia ditafsir sepotong-potong, dipakai sesuai selera, digerus oleh pasar dan politik identitas. Generasi muda lebih hafal nama-nama brand daripada sila-sila dasar negara. Sekolah mengajarkan hafalan, bukan kesadaran. Sementara elite politik menjadikan ideologi sebagai alat nego, bukan kompas moral. Negara gagal memelihara akarnya.
Krisis Sosial: Polarisasi, Alienasi, dan Komodifikasi Solidaritas
Kita hidup di zaman ketika saling membenci lebih mudah daripada saling memahami. Polarisasi makin akut bukan hanya karena politik, tapi juga karena algoritma media sosial yang menjadikan konflik sebagai komoditas. Yang berbeda dianggap ancaman. Yang kritis dianggap makar. Yang diam dianggap setuju. Ruang sosial kita penuh kecurigaan, kebisingan, dan kehilangan empati.
Teknologi digital tak hanya mendekatkan, tapi juga membelah. Kita hidup dalam gelembung-gelembung sosial yang memperkuat bias, bukan membangun empati. Konflik identitas meningkat: agama, ras, dan kelas menjadi titik api yang terus disulut, kadang oleh elite yang ingin kelihatan suci, kadang oleh algoritma yang ingin kita terus bertengkar agar tetap online.
Sementara itu, solidaritas sosial direduksi menjadi tagar. Kita belajar mencintai sesama lewat Instagram, lalu lupa esok harinya. Krisis sosial bukan karena kita tak punya nilai, tapi karena kita tak sempat menghayatinya.
Krisis Ekonomi: Pertumbuhan Tanpa Pemerataan
Pemerintah bicara pertumbuhan, rakyat bicara bertahan hidup. Menurut BPS (2023), angka kemiskinan memang menurun, tapi ketimpangan tetap tinggi. Gini rasio Indonesia stagnan di angka 0,38–0,41. Ini artinya, segelintir orang menikmati pertumbuhan, sementara mayoritas menonton dari luar pagar. Pertumbuhan ekonomi Indonesia rata-rata 5% per tahun selama dekade terakhir. Tapi pertumbuhan itu seperti pohon beringin rindang di atas, akar kecil di bawah. Ketimpangan tetap tajam. Menurut World Bank (2023), 1% orang terkaya Indonesia menguasai lebih dari 50% kekayaan nasional.
Kaum muda hidup dalam paradoks: sekolah tinggi tapi jadi penganggur terdidik, kerja keras tapi tak bisa beli rumah, bercita-cita tapi terbentur harga-harga. Ekonomi bukan soal angka, tapi soal rasa: dan rasa itu makin hambar. Kelas menengah semakin semu. Banyak yang tampak makmur dari cicilan, bukan pendapatan. Sementara petani kehilangan lahan, nelayan kehilangan laut, buruh kehilangan daya tawar, dan pekerja muda kehilangan harapan. Ekonomi Indonesia mengalami apa yang disebut Joseph Stiglitz sebagai “success that failed the people” berhasil di kertas, gagal di meja makan.
Krisis Politik: Demokrasi dalam Koma Elektoral
Pemilu jadi ajang pesta, tapi tanpa makna. Kita memilih dari nama-nama yang didaur ulang, dalam sistem yang sudah dipetakan sebelum hari H. Pemilu makin meriah, tapi makna makin pudar. Demokrasi terjebak dalam euforia prosedural tanpa substansi. Partai-partai berubah jadi kartel kekuasaan, bukan rumah gagasan. Koalisi dibentuk bukan karena visi, tapi karena kalkulasi. Oposisi makin langka, karena semua ingin kebagian kursi.
Rakyat dipanggil hanya saat dibutuhkan: setelah itu, dilupakan. Partai berubah jadi mesin pemakluman. Oposisi dilemahkan, kritik dipelintir sebagai kebencian. Kita menyaksikan rekonsiliasi demi kekuasaan, bukan demi rakyat. Demokrasi prosedural tetap jalan: TPS dibuka, suara dihitung, pemenang diumumkan. Tapi demokrasi substansial keadilan, partisipasi bermakna, kebebasan berpikir pelan-pelan dibonsai.
Krisis Budaya: Gagap Makna di Era Viral
Budaya tak lagi mengakar, tapi dijadikan dekorasi event dan konten viral. Kearifan lokal dijadikan jargon promosi wisata, bukan nilai hidup. Kita kehilangan ruang tafsir, ruang kritik, dan ruang kontemplasi. Budaya lokal dijual sebagai komoditas pariwisata, bukan ruang pembentukan identitas. Tarian jadi tontonan tamu asing. Lagu daerah dijadikan backsound konten. Tradisi kehilangan ruh, ia hidup, tapi seperti zombie: berjalan tanpa jiwa.
Sementara budaya populer global merajalela tanpa filter nilai. Yang penting lucu, yang penting rame, yang penting viral. Di sini, budaya bukan cermin peradaban, tapi cermin ring light. Budaya diukur dengan berapa banyak views di TikTok, bukan seberapa dalam ia membentuk jiwa. Dalam masyarakat yang semakin visual, yang penting bukan isi, tapi tampilan. Yang penting bukan makna, tapi efek. Anak-anak lebih hafal jargon TikTok daripada pepatah nenek moyang. Dan kita membiarkannya, karena mengkritik berarti “kolot”.
Krisis Moral dan Nilai Kemanusiaan: Empati yang Mati Rasa
Apa kabar empati? Barangkali ia sudah dikubur bersama idealisme yang pernah tumbuh. Kita hidup di era ketika tragedi jadi tontonan, dan kekejaman jadi hiburan. Kita tertawa melihat orang miskin dihina di TV. Kita membagikan video kekerasan dengan caption “miris”. Kita menyumbang bencana dengan QR Code, tapi menolak bersolidaritas secara nyata.
Kita mengalami moral fatigue: terlalu sering melihat yang salah, sampai terbiasa. Dan yang paling berbahaya bukan kebencian, tapi apatisme. Kita terbiasa melihat kekerasan, kebohongan, dan ketidakadilan, lalu menanggapinya dengan senyuman atau meme. Kita hidup dalam masyarakat yang bisa tertawa di atas penderitaan, dan merasa netral dalam situasi yang menuntut keberpihakan. Kemanusiaan jadi retoris. Empati jadi formalitas. Kata “peduli” hanya ramai saat bencana, lalu lenyap di antara trending topic berikutnya.
Krisis Hukum: Ketika Keadilan Dikendalikan Kekuasaan
Indonesia disebut sebagai rechtstaat, negara hukum. Tapi dalam praktiknya, hukum justru sering jadi alat kekuasaan, bukan penjamin keadilan. Pasal-pasal bisa digunakan secara elastis tergantung siapa yang dihadapi. Orang kecil bisa dipenjara karena nyolong ayam, sementara koruptor bisa pulang sambil melambaikan tangan. Hukum tak lagi tegak lurus. Ia kini lentur mengikuti tekanan politik dan modal. Skandal besar bisa hilang begitu saja, sementara rakyat kecil dihukum karena mencuri semangka. Hukum berubah jadi teater: serius tampilannya, penuh dagelan isinya.
Fenomena ini bukan sekadar dugaan publik, tapi sudah dikonfirmasi oleh banyak riset dan laporan lembaga kredibel. Hukum jadi semacam pagar hidup yang bisa dilewati kalau punya kunci: kekuasaan atau uang. Bagi yang tak punya keduanya, hukum berubah menjadi jebakan.
Menurut World Justice Project Rule of Law Index (2023), Indonesia berada di peringkat 63 dari 140 negara. Indikator kepercayaan publik terhadap lembaga hukum terus menurun. KPK yang dulu dielu-elukan kini justru dianggap kehilangan taring, bahkan tunduk pada kepentingan politik. KPK, yang dulu menjadi simbol harapan rakyat terhadap pemberantasan korupsi, kini kehilangan tajinya. Revisi UU KPK tahun 2019 jadi titik balik kelam: KPK tak lagi independen, harus tunduk pada mekanisme ASN, dan rentan intervensi. Polisi pun tak luput dari sorotan: dari kasus pembunuhan Brigadir J oleh petinggi internal Polri, kasus narkoba yang melibatkan jenderal, hingga praktik pungli dan kekerasan terhadap rakyat kecil yang tersebar di media sosial.
Yang membuat hukum kehilangan wibawa bukan karena rakyat tak patuh, tapi karena negara tak konsisten. Rakyat menuntut keadilan, negara memberi prosedur. Yang satu bicara hak, yang lain bicara aturan. Padahal, seperti kata Mahfud MD dulu, “Keadilan bukan hanya soal hukum, tapi soal nurani.”
Alih-alih menjadi ruang rekonsiliasi antara negara dan warga, hukum justru digunakan untuk meredam kritik dan mengamankan status quo. Pasal-pasal karet seperti UU ITE, penghinaan terhadap penguasa, dan penyebaran hoaks masih digunakan untuk membungkam suara-suara alternatif—terutama di tahun-tahun politik.Aktivis, akademisi, jurnalis, bahkan masyarakat biasa bisa dipolisikan hanya karena mengkritik kebijakan pemerintah. Ini menandakan bahwa hukum bukan lagi alat perlindungan, tapi alat kekuasaan.
Akhirnya, hukum kehilangan maknanya yang paling mendasar: menjamin keadilan dan ketertiban. Di masyarakat, tumbuh sikap skeptis dan sinis: “Percuma lapor polisi”, “Yang penting punya kenalan jaksa”, “Pengacara siapa dulu”. Ini bukan sekadar lelucon ini refleksi dari realitas hukum yang disfungsional. Kita mengalami kondisi yang mirip dengan yang pernah ditulis Franz Neumann, seorang teoretikus hukum Jerman: “In a dictatorship, the law serves the state. In a democracy, the law serves the people. The danger lies when a democracy adopts the laws of a dictatorship but claims to serve the people.”
Apakah Kita Akan Menang Melawan Badai?
Badai belum pasti berlalu. Mungkin karena badai itu bukan dari luar, tapi dari dalam. Kita dikepung oleh sistem yang kita biarkan tumbuh: dari kompromi, dari diam, dari ketakutan. Tapi seperti kata Milan Kundera, “The struggle of man against power is the struggle of memory against forgetting.” Maka tugas kita bukan menunggu terang, tapi menjaga nyala kecil itu dalam pikiran, dalam tulisan, dalam tindakan, dan dalam hati.
Apakah Badai Akan Berlalu?
Jangan-jangan, seperti kata Albert Camus, “The absurd is born of the confrontation between the human need and the unreasonable silence of the world.” Mungkin kita sedang menghadapi dunia yang absurd, bukan karena dunia ini jahat, tapi karena kita terus berharap ada keadilan di dalam sistem yang dibangun di atas ketidakadilan.
Badai ini bukan ujian sementara. Bisa jadi ini adalah bentuk permanen dari sistem yang disfungsional. Maka yang kita perlukan bukan sekadar sabar menunggu cerah, tapi kesadaran bahwa kita harus belajar menanam benih dalam angin ribut, bukan menunggu taman di tengah badai.
Kalau badai belum pasti berlalu, mungkin kita perlu berhenti berharap langit cerah. Mungkin sudah waktunya membangun kekuatan dari dalam: membentuk komunitas yang sadar, menumbuhkan keberanian di tengah absurditas, dan menyemai keberpihakan yang tidak bisa dibeli. Mungkin kita tak bisa segera mengubah sistem, tapi kita bisa menjaga akal sehat agar tidak ikut mati. Kita bisa terus menulis, berbicara, bertindak, meski kecil. Karena seperti kata Václav Havel: “Hope is not the conviction that something will turn out well, but the certainty that something makes sense, regardless of how it turns out.”
Jadi, kalau badai belum pasti berlalu, setidaknya kita bisa tetap berdiri walau basah, walau sendiri. Karena hidup di Indonesia bukan tentang menghindari badai, tapi tentang belajar menari di tengah angin, meski dengan kaki terluka.