Oleh: Asep Tapip Yani
(Dosen Pascasarjana UMIBA Jakarta / Kepala SMKN 13 Bandung)
Dalam berbagai dinamika sosial, politik, dan hukum, sering kali kita menjumpai fenomena ganjil di mana individu, kelompok, atau bahkan institusi justru membela tindakan, kebijakan, atau tokoh yang secara normatif tidak layak dibela. Di zaman yang serba cepat dan penuh polarisasi ini, satu hal yang makin sering kita jumpai adalah fenomena “defending the indefensible” membela hal-hal yang secara logika, akal sehat, moral, dan hukum sebenarnya tidak layak dibela. Dari pejabat korup yang dielu-elukan, tokoh intoleran yang disanjung, hingga kebijakan ngawur yang dipoles dengan retorika indah. Kita sedang menyaksikan zaman ketika kebenaran tidak lagi penting yang penting, “siapa yang bicara”.
Fenomena ini tidak hanya terjadi di dunia internasional, tetapi juga menjadi bagian dari realitas sosial-politik di Indonesia. Artikel ini mencoba mengupas fenomena ini dari sisi konseptual, pragmatikal, serta refleksi terhadap konteks global dan lokal.
Mengapa yang Salah Bisa Dibela?
Fenomena membela yang tak layak dibela lahir dari beragam faktor. Ada yang karena loyalitas politik buta, ada yang karena transaksionalisme kekuasaan, dan ada pula yang karena terjebak dalam manipulasi narasi dan disonansi kognitif. Menurut penelitian McRaney (2012) tentang confirmation bias, manusia cenderung mencari informasi yang mendukung keyakinannya dan menolak fakta yang menggugat kenyamanannya.
Secara konseptual, “defending the indefensible” merupakan bentuk penyimpangan logika (logical fallacy) dan etika, yang biasanya terjadi karena beberapa alasan:
- Loyalitas Buta (Blind Loyalty): Seseorang membela tokoh atau kelompok karena faktor kedekatan emosional, politik, atau ideologis, tanpa mempertimbangkan fakta atau kebenaran.
- Disonansi Kognitif: Ketika kenyataan bertentangan dengan keyakinan atau kepentingan pribadi, individu cenderung memutarbalikkan fakta agar tetap merasa konsisten secara internal.
- Manipulasi Bahasa dan Narasi: Pembelaan terhadap tindakan yang tidak bermoral kerap menggunakan permainan retorika, eufemisme, dan framing media untuk mengaburkan kebenaran.
- Relativisme Moral: Dalam situasi tertentu, pelanggaran dianggap dapat dibenarkan jika demi tujuan yang dianggap lebih besar, misalnya “demi stabilitas”, “demi pembangunan”, atau “demi bangsa”.
George Orwell pernah menulis dalam Facing Unpleasant Facts, “We have now sunk to a depth at which the restatement of the obvious is the first duty of intelligent men.” Ketika fakta yang terang benderang tetap disangkal, dan yang salah justru dibela habis-habisan, maka tugas intelektual kita adalah bersuara.
Dalam dunia pascakebenaran (post-truth), emosi lebih penting daripada fakta. Kebenaran tak lagi diukur dari isi, tapi dari siapa yang mengucapkannya. Maka jangan heran, yang salah bisa tampak benar, asalkan dibungkus rapi oleh buzzer, influencer, atau bahkan akademisi bayaran.
Ketika Kebenaran Dikalahkan oleh Kepentingan
Pembelaan terhadap yang tidak layak dibela bukan hanya soal etika pribadi, tetapi juga soal struktur kekuasaan yang makin transaksional. Seperti dikatakan Noam Chomsky, “The smart way to keep people passive and obedient is to strictly limit the spectrum of acceptable opinion, but allow very lively debate within that spectrum.” Cara cerdas untuk menjaga orang tetap pasif dan patuh adalah dengan membatasi secara ketat spektrum pendapat yang dapat diterima, tetapi memperbolehkan perdebatan yang sangat hidup dalam spektrum tersebut.”
Kita sering diajak ribut soal hal-hal remeh, sementara isu-isu besar yang melibatkan kekuasaan, uang, dan pelanggaran moral justru dibungkam atau dibelokkan.
Indonesia tak luput dari fenomena ini. Beberapa contoh nyata:
- Korupsi yang Dibelain: Ketika pejabat atau tokoh publik tertangkap korupsi, masih saja ada yang membela dengan narasi “beliau berjasa”, “itu fitnah politik”, atau “belum tentu bersalah karena belum inkrah”.
- Skandal Politik dan Moral: Tokoh yang jelas-jelas terlibat dalam skandal seks, kekerasan, atau penyalahgunaan kekuasaan tetap dielu-elukan sebagai “pahlawan” atau “korban framing”.
- Manipulasi dalam Pilkada dan Pemilu: Banyak pelanggaran etika dan hukum yang justru dibela oleh tim sukses, buzzer, bahkan sebagian masyarakat, dengan alasan pragmatis “yang penting menang”.
- Kasus Pelanggaran HAM atau Intoleransi: Banyak kasus intoleransi atau kekerasan terhadap minoritas yang justru dibenarkan secara diam-diam oleh sebagian kelompok, bahkan dibela dengan narasi agama atau adat.
Kasus-Kasus Dunia: Ketika Moral Kompromi dengan Politik
Dunia hari ini memberikan banyak contoh “pembelaan absurd” terhadap pelanggaran berat:
- Amerika Serikat: Pembelaan terhadap kebohongan Donald Trump tentang hasil pemilu 2020 menunjukkan bagaimana loyalitas politik mengalahkan rasionalitas. Donald Trump terus dibela oleh sebagian besar Partai Republik meskipun ia memicu serangan ke Capitol Hill pada 6 Januari 2021. Bagi sebagian pendukungnya, “kebohongan besar” (The Big Lie) lebih meyakinkan daripada hasil pemilu yang sah.
- Rusia: Propaganda pemerintah membenarkan invasi ke Ukraina dengan narasi “melindungi wilayah bersejarah”, meskipun secara internasional hal itu dianggap sebagai agresi. Vladimir Putin membenarkan invasi ke Ukraina dengan dalih “denazifikasi”, padahal dunia internasional melihatnya sebagai pelanggaran berat terhadap kedaulatan.
- Israel-Palestina: Dunia terbelah dalam melihat konflik, dan sering kali pembelaan terhadap kekerasan dan pelanggaran HAM dilakukan atas nama keamanan nasional atau sejarah. Pembantaian sipil di Gaza oleh militer Israel dibela dengan dalih “pertahanan diri”, meskipun ribuan korban jiwa adalah perempuan dan anak-anak (data OCHA-UN, 2024 menunjukkan lebih dari 30.000 korban sipil tewas sejak Oktober 2023).
Indonesia: Membela Salah sebagai Budaya Politik?
Indonesia pun tak luput dari praktik membela yang tak pantas dibela. Berikut beberapa contoh empiris:
- Skandal Korupsi dan Politik Balas Jasa
Setiap kali pejabat publik tertangkap KPK, muncul pembelaan dari rekan separtai, tokoh masyarakat, bahkan tokoh agama. Sebagian mengatakan “itu kriminalisasi” atau “fitnah politik menjelang pemilu”. Menurut Transparency International (2023), skor Indeks Persepsi Korupsi Indonesia stagnan di angka 34/100—indikasi bahwa korupsi masih jadi persoalan akut yang tak pernah benar-benar serius diberantas, apalagi ketika yang terlibat adalah “orang dalam”.
- Pelanggaran Etika yang Dibelain
Kasus Ketua MK Anwar Usman dalam putusan soal batas usia capres (2023) menunjukkan bagaimana pelanggaran etik justru dibela oleh elite dengan dalih “interpretasi hukum” dan “kewenangan konstitusional”. Putusan etik oleh MKMK nyaris tak diindahkan secara politis seolah pelanggaran etika tak penting jika hasilnya sesuai kepentingan politik.
- Intoleransi dan Kekerasan Simbolik
Ketika kelompok minoritas dilarang ibadah atau rumah ibadahnya ditutup paksa, sering kali ada pembelaan berbasis “kearifan lokal” atau “mayoritas merasa terganggu”. Padahal konstitusi menjamin kebebasan beragama. Menurut Setara Institute (2023), terdapat 160 peristiwa pelanggaran kebebasan beragama/berkeyakinan sepanjang tahun—dan hanya sedikit yang diselesaikan secara adil.
Saatnya Menolak untuk Ikut Membela yang Salah
Sudah saatnya kita keluar dari jebakan “defending the indefensible”. Bukan karena kita suci, tapi karena kalau diam, kita ikut andil dalam membenarkan yang salah. Martin Luther King Jr. pernah berkata, “The ultimate tragedy is not the oppression and cruelty by the bad people but the silence over that by the good people”. “Tragedi terbesar bukanlah penindasan dan kekejaman yang dilakukan oleh orang jahat, melainkan bungkamnya orang baik atas hal tersebut.”
Membela yang salah bukan hanya bentuk kebodohan, tapi juga pengkhianatan terhadap masa depan. Bangsa ini tak akan maju jika terus dipimpin oleh kebohongan yang dibungkus loyalitas, dan kejahatan yang ditutup oleh retorika.
Membela yang tak layak dibela adalah pengkhianatan terhadap nurani dan akal sehat. Dunia hari ini terlalu banyak dihuni oleh mereka yang rela membungkam kebenaran demi kekuasaan, uang, atau popularitas. Di tengah arus pragmatisme dan relativisme moral, kita perlu lebih kritis terhadap narasi yang berkembang, terutama ketika narasi itu digunakan untuk menjustifikasi ketidakadilan dan penyimpangan.
Sudah waktunya publik berani bersuara: bahwa yang salah tetap salah, meskipun dibela oleh sejuta orang. Dan yang benar tetap benar, meskipun dibenci oleh dunia. Di Indonesia, kayaknya sangat berat ya untuk bisa merealisasikan itu. Fenomena itu sudah sangat sistemik, massif, dan terstruktur luar biasa. Tetapi, jangan pesimis, tetap optimis, Indonesia bisa!