Senin, April 28, 2025
Google search engine
BerandaReligiMudik Kembali Ke Jati Fitrah

Mudik Kembali Ke Jati Fitrah

Oleh: Asep Tapip Yani

(Dosen Pascasarjana UMIBA Jakarta)

Mudik merupakan tradisi tahunan yang dilakukan oleh masyarakat, terutama di Indonesia, untuk kembali ke kampung halaman saat momen Idul Fitri. Namun, mudik sejatinya bukan hanya perjalanan fisik, tetapi juga perjalanan spiritual untuk kembali ke fitrah manusia yang suci. Artikel ini membahas makna mudik dalam perspektif spiritual Islam, bagaimana mudik dapat menjadi momentum untuk introspeksi diri, serta bagaimana konsep fitrah yang disebut dalam Al-Qur’an dan hadits dapat dijadikan pedoman dalam kehidupan. Melalui kajian literatur dan refleksi sosial, artikel ini menguraikan pentingnya memahami mudik sebagai perjalanan kembali kepada kesucian jiwa, meningkatkan kualitas ibadah, dan mempererat hubungan sosial.

Mudik telah menjadi fenomena sosial yang menarik untuk dikaji dari berbagai perspektif, baik ekonomi, sosial, maupun budaya. Namun, dari sudut pandang spiritual, mudik memiliki makna yang lebih dalam, yakni perjalanan kembali ke jati diri dan fitrah manusia. Fitrah dalam Islam adalah keadaan asli manusia yang suci, sebagaimana disebutkan dalam Al-Qur’an: “Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama (Islam); (tetaplah atas) fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrah itu. Tidak ada perubahan pada fitrah Allah.” (QS. Ar-Rum: 30)

Tradisi mudik yang identik dengan Idul Fitri sejatinya adalah simbolisasi dari upaya kembali kepada kesucian setelah satu bulan menjalani ibadah puasa di bulan Ramadhan. Dengan demikian, mudik bukan hanya tentang perjalanan fisik, tetapi juga perjalanan spiritual menuju kesadaran akan hakikat diri sebagai hamba Allah. Artikel ini bertujuan untuk menggali konsep mudik dalam makna spiritualnya, bagaimana perjalanan ini dapat menjadi refleksi diri untuk kembali ke fitrah, serta bagaimana implementasi nilai-nilai fitrah dalam kehidupan sehari-hari.

Makna Fitrah dalam Islam

Fitrah adalah keadaan asli manusia yang bersih dari dosa dan memiliki kecenderungan alami untuk beriman kepada Allah. Rasulullah SAW bersabda:

“Setiap anak dilahirkan dalam keadaan fitrah (suci), maka kedua orang tuanya yang menjadikannya Yahudi, Nasrani, atau Majusi.” (HR. Bukhari & Muslim). Fitrah manusia cenderung kepada kebaikan, kejujuran, dan nilai-nilai moral yang luhur. Namun, perjalanan hidup sering kali membawa seseorang jauh dari fitrahnya akibat pengaruh lingkungan, hawa nafsu, dan kesibukan duniawi. Oleh karena itu, diperlukan usaha sadar untuk kembali ke fitrah, salah satunya melalui ibadah di bulan Ramadhan dan refleksi spiritual saat mudik.

Mudik sebagai Perjalanan Spiritual

Mudik tidak sekadar perjalanan menuju kampung halaman, tetapi juga perjalanan kembali kepada nilai-nilai yang lebih fundamental dalam kehidupan, yaitu:

  • Kembali kepada keluarga dan akar budaya: Mudik mempertemukan seseorang dengan orang tua, keluarga, dan masyarakat tempat ia berasal. Ini adalah simbol dari kembali kepada nilai-nilai asli yang membentuk karakter seseorang sejak kecil.
  • Meninggalkan kesibukan duniawi sejenak: Seperti halnya i’tikaf yang memberi kesempatan untuk menyendiri dan mendekatkan diri kepada Allah, mudik juga memberikan ruang untuk berhenti sejenak dari rutinitas dunia yang sibuk dan melelahkan.
  • Memperbaiki hubungan sosial: Silaturahmi saat mudik adalah momentum untuk meminta maaf dan menyambung kembali hubungan yang mungkin sempat terputus. Ini sejalan dengan ajaran Islam tentang pentingnya ukhuwah Islamiyah.
  • Refleksi dan evaluasi diri: Dalam perjalanan mudik, seseorang memiliki waktu untuk merenungkan perjalanan hidupnya, apakah selama ini ia telah menjalani hidup sesuai dengan nilai-nilai fitrah atau justru semakin jauh dari tujuan hidup yang sejati.

Menurut Al-Ghazali dalam Ihya Ulumuddin, “Manusia yang cerdas adalah mereka yang selalu melakukan muhasabah (evaluasi diri) dan mempersiapkan diri untuk kehidupan setelah mati” (Al-Ghazali, 1995). Mudik dapat menjadi momentum muhasabah bagi setiap individu untuk menilai kembali perjalanan hidupnya.

Momentum Idul Fitri sebagai Titik Kembali ke Fitrah

Idul Fitri secara harfiah berarti kembali ke fitrah. Setelah satu bulan berpuasa, umat Islam diharapkan kembali menjadi pribadi yang lebih baik, lebih bersih dari dosa, dan lebih dekat dengan Allah. Beberapa nilai utama yang harus dijaga setelah kembali ke fitrah antara lain:

  • Ketakwaan yang berkelanjutan: Puasa dan ibadah di bulan Ramadhan harus menjadi kebiasaan yang terus dipertahankan, bukan hanya ritual sesaat.
  • Keikhlasan dalam ibadah: Setelah Ramadhan, seseorang diharapkan tetap menjaga niat yang lurus dalam setiap ibadahnya.
  • Hubungan baik dengan sesama: Idul Fitri adalah momentum untuk memaafkan dan menyambung kembali silaturahmi yang terputus.

Sayyid Qutb dalam Fi Zilalil Qur’an menyebutkan bahwa “Idul Fitri adalah bukan sekadar perayaan, tetapi juga kemenangan spiritual atas hawa nafsu dan egoisme” (Sayyid Qutb, 2003). Oleh karena itu, mudik dalam konteks Idul Fitri harus dimaknai sebagai perjalanan menuju penyucian diri dan kembali kepada nilai-nilai Islam yang hakiki.

Inferensi

Mudik tidak hanya sekadar perjalanan kembali ke kampung halaman, tetapi juga perjalanan spiritual menuju fitrah manusia yang suci. Dalam Islam, fitrah adalah keadaan alami manusia yang cenderung kepada kebaikan dan ketakwaan. Dengan memahami makna mudik yang lebih dalam, seseorang dapat menjadikannya sebagai momentum untuk memperbaiki diri, mempererat hubungan sosial, dan kembali kepada nilai-nilai ketakwaan yang sejati. Seperti yang dikatakan dalam QS. Az-Zumar: 53: “Katakanlah: Wahai hamba-hamba-Ku yang melampaui batas terhadap diri mereka sendiri, janganlah berputus asa dari rahmat Allah. Sesungguhnya Allah mengampuni dosa-dosa semuanya.” (QS. Az-Zumar: 53)

Semoga kita semua dapat menjadikan mudik sebagai bagian dari perjalanan spiritual untuk kembali ke fitrah dan menjalani hidup dengan lebih bermakna.

Referensi

  • Al-Ghazali. (1995). Ihya Ulumuddin. Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah.
  • Sayyid Qutb. (2003). Fi Zilalil Qur’an. Kairo: Dar al-Shuruq.
  • Hadits Riwayat Bukhari dan Muslim.
  • Al-Qur’an: QS. Ar-Rum: 30, QS. Az-Zumar: 53.
RELATED ARTICLES

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

- Advertisment -
Google search engine
Google search engine
Google search engine
Google search engine
Google search engine
Google search engine
Google search engine

Most Popular

Recent Comments