Oleh: Asep Tapip Yani
(Dosen Pascasarjana UMIBA Jakarta)
Mimpi yang Tak Kunjung Terwujud
Pendidikan bermutu untuk semua adalah ide yang telah dikumandangkan sejak manusia mengenal aksara. Sejak Plato mendirikan Akademia hingga Ki Hajar Dewantara memperjuangkan Taman Siswa, pendidikan selalu menjadi cita-cita luhur yang tampak indah di atas kertas tetapi penuh rintangan dalam kenyataan. Semua sepakat bahwa pendidikan berkualitas adalah hak setiap individu. Namun, pertanyaannya: mungkinkah semua orang benar-benar mendapatkan pendidikan yang bermutu? Ataukah ini hanyalah mitos modern yang kita pelihara agar tetap memiliki harapan?
Pendidikan bermutu untuk semua seringkali menjadi jargon politis, slogan kampanye, dan bahan pidato inspiratif. Namun, dalam praktiknya, banyak yang terjebak dalam absurditas sistem yang lebih mementingkan administrasi ketimbang esensi. Pendidikan bukan sekadar angka-angka di rapor atau akreditasi institusi, tetapi soal membangun manusia seutuhnya. Artikel ini akan mengupas pendidikan bermutu dari berbagai sudut pandang: filosofis, sosiologis, historis, yuridis, dan religi, dengan pendekatan yang mungkin absurd, tetapi semoga tetap mencerminkan realitas.
Pendidikan Bermutu sebagai Mitos atau Keniscayaan?
Filsafat pendidikan telah lama mencoba menjawab pertanyaan mendasar: Apa tujuan pendidikan? Apakah pendidikan bermutu bertujuan untuk menciptakan manusia yang berpikir kritis, atau sekadar melahirkan pekerja yang patuh terhadap sistem?
Plato dalam Republic-nya membayangkan pendidikan sebagai sarana menciptakan “manusia emas” yang mampu memimpin dengan bijak. Sementara itu, John Dewey dalam Democracy and Education menekankan bahwa pendidikan harus bersifat demokratis, membentuk individu yang mampu berpikir dan bertindak dalam masyarakat.
Namun, realitas menunjukkan bahwa pendidikan sering kali menjadi alat ideologisasi. Kita mengajarkan siswa tentang kebebasan berpikir, tetapi membatasi mereka dengan kurikulum yang kaku. Kita berbicara tentang inovasi, tetapi takut terhadap kebebasan yang terlalu liar. Pendidikan bermutu untuk semua akhirnya lebih mirip utopia Plato—sesuatu yang ideal, tetapi sulit diwujudkan.
Jika pendidikan benar-benar bermutu untuk semua, mengapa masih ada sekolah yang kekurangan fasilitas? Mengapa masih ada kesenjangan antara sekolah di kota besar dan di pelosok? Pendidikan bermutu bukan sekadar soal kurikulum, tetapi soal keadilan akses dan kesempatan. Jika filsafat mengajarkan kita berpikir kritis, mengapa sistem pendidikan justru sering kali membunuh daya kritis itu sendiri?
Pendidikan Bermutu dalam Masyarakat yang Penuh Kesenjangan
Dari sudut pandang sosiologis, pendidikan seharusnya menjadi alat mobilitas sosial. Namun, faktanya, pendidikan justru sering memperkuat kesenjangan sosial. Anak-anak dari keluarga kaya lebih mungkin mendapatkan pendidikan berkualitas dibanding anak-anak dari keluarga miskin.
Pierre Bourdieu dalam konsep habitus dan modal budaya menjelaskan bahwa pendidikan tidak pernah benar-benar netral. Sekolah cenderung mereproduksi ketimpangan sosial karena mereka yang memiliki modal budaya lebih tinggi (seperti akses ke buku, bahasa yang lebih kaya, dan jaringan sosial) akan lebih mudah sukses dibanding mereka yang tidak.
Ironisnya, kita sering berbicara tentang “pendidikan gratis,” tetapi apakah benar-benar gratis? Bahkan jika biaya sekolah tidak dipungut, ada biaya tersembunyi: buku, seragam, transportasi, hingga akses ke bimbingan belajar. Dalam masyarakat yang kapitalistik, pendidikan bermutu untuk semua hanyalah mitos yang dijual sebagai harapan kosong.
Jika kita ingin pendidikan benar-benar bermutu untuk semua, maka sistem harus dirancang agar tidak sekadar menguntungkan yang sudah berada di atas. Namun, siapa yang bersedia mengubah sistem yang sudah menguntungkan mereka?
Pendidikan Bermutu, dari Zaman Kerajaan hingga Zaman Digital
Sejarah pendidikan menunjukkan bahwa pendidikan bermutu hampir selalu menjadi hak istimewa segelintir orang.
- Pada zaman kerajaan, pendidikan hanya diperuntukkan bagi bangsawan dan kaum terpelajar. Rakyat jelata cukup diajari bertani dan tunduk pada penguasa.
- Pada zaman kolonial, pendidikan dipakai sebagai alat kontrol. Hanya segelintir pribumi yang boleh mengenyam pendidikan tinggi agar bisa menjadi birokrat kelas menengah.
- Setelah kemerdekaan, banyak negara berusaha mewujudkan pendidikan untuk semua, tetapi tetap saja, kesenjangan terus terjadi.
Saat ini, di era digital, akses terhadap pendidikan semakin terbuka melalui teknologi. Siapa saja bisa belajar dari mana saja. Namun, apakah semua bisa mendapatkan pendidikan berkualitas? Tidak juga. Ada kesenjangan digital, ada ketimpangan dalam literasi, dan ada perbedaan kualitas sumber belajar. Sejarah menunjukkan bahwa pendidikan bermutu tidak pernah menjadi realitas bagi semua orang. Haruskah kita pasrah? Atau justru inilah saatnya untuk benar-benar mewujudkan perubahan?
Pendidikan Bermutu dalam Kerangka Hukum
Secara hukum, hampir semua negara mengakui bahwa pendidikan adalah hak dasar manusia.
- Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (Pasal 26) menyatakan bahwa setiap orang berhak atas pendidikan.
- Konstitusi berbagai negara menjamin pendidikan sebagai hak warga negara.
- UU Sisdiknas di Indonesia menegaskan bahwa pendidikan harus berkualitas dan dapat diakses oleh semua.
Namun, apakah hukum cukup kuat untuk menjamin pendidikan bermutu? Tidak juga. Banyak kebijakan yang dibuat tanpa implementasi yang serius. Banyak regulasi yang justru lebih bersifat administratif daripada substantif. Hukum bisa menjamin bahwa sekolah berdiri, tetapi tidak bisa menjamin bahwa sekolah itu memiliki guru yang berkualitas. Hukum bisa mengatur jumlah jam pelajaran, tetapi tidak bisa menjamin bahwa pembelajaran itu bermakna. Tanpa komitmen nyata dari semua pihak, hukum hanya akan menjadi teks mati. Pendidikan bermutu untuk semua tidak akan terjadi hanya karena ada undang-undang, tetapi karena ada keadilan yang diwujudkan dalam sistem yang benar-benar berpihak pada semua.
Pendidikan Bermutu sebagai Amanah Ilahi
Dalam banyak tradisi agama, pendidikan adalah kewajiban moral.
- Islam menempatkan pendidikan sebagai kewajiban setiap individu, sebagaimana sabda Nabi Muhammad, “Menuntut ilmu adalah kewajiban bagi setiap Muslim.”
- Kristen mengajarkan bahwa kebijaksanaan adalah anugerah Tuhan yang harus dipelajari dan diamalkan.
- Hindu dan Buddha menekankan pentingnya ilmu pengetahuan sebagai jalan menuju kebijaksanaan dan pencerahan.
Namun, dalam kenyataan, apakah nilai-nilai spiritual ini benar-benar diterapkan? Banyak lembaga pendidikan berbasis agama yang justru lebih berorientasi pada bisnis daripada misi suci mencerdaskan umat. Jika pendidikan adalah ibadah, mengapa masih ada ketidakadilan dalam akses terhadapnya? Jika ilmu adalah cahaya, mengapa masih banyak yang dibiarkan dalam kegelapan?
Pendidikan Bermutu dalam Bayang-Bayang Tradisi dan Modernitas
Pendidikan tidak pernah lepas dari konteks budaya. Di satu sisi, pendidikan bermutu harus mampu menghormati nilai-nilai lokal dan kearifan tradisional. Di sisi lain, ia juga harus relevan dengan perkembangan global. Masalahnya, bagaimana kita menyeimbangkan keduanya?
Dalam banyak budaya tradisional, pendidikan tidak selalu berbentuk sekolah formal seperti yang kita kenal sekarang. Di masyarakat adat, pendidikan diberikan melalui cerita rakyat, upacara adat, atau bimbingan dari tetua. Misalnya, suku-suku di Indonesia memiliki sistem pendidikan berbasis lingkungan yang mengajarkan keterampilan hidup sesuai dengan kondisi alam setempat.
Namun, seiring dengan modernisasi, sistem pendidikan global cenderung mengabaikan warisan budaya ini. Kurikulum lebih banyak diadopsi dari sistem Barat, sering kali tanpa mempertimbangkan relevansinya dengan budaya lokal. Akibatnya, banyak generasi muda yang merasa terasing dari identitas budayanya sendiri. Mereka lebih mengenal teori ekonomi kapitalisme daripada filosofi gotong royong. Mereka lebih hafal nama-nama ilmuwan Eropa daripada tokoh intelektual dari bangsanya sendiri.
Pendidikan bermutu seharusnya tidak hanya mencetak individu yang kompetitif di pasar global, tetapi juga yang memiliki kesadaran budaya yang kuat. Jika tidak, kita hanya akan melahirkan generasi yang secara akademik cerdas, tetapi secara budaya tercerabut dari akar mereka. Lantas, apakah pendidikan bermutu untuk semua bisa terwujud tanpa menghancurkan identitas budaya lokal? Ataukah kita hanya akan terus menciptakan generasi yang lebih global tetapi semakin kehilangan jati diri?
Pendidikan Bermutu untuk Semua, Harapan atau Ilusi?
Pada akhirnya, pendidikan bermutu untuk semua adalah sebuah cita-cita yang harus terus diperjuangkan. Apakah itu sebuah utopia? Bisa jadi. Tetapi tanpa mimpi, kita tidak akan pernah bergerak maju.
Dari sudut pandang filosofis, pendidikan bermutu mungkin masih merupakan mitos. Dari perspektif sosiologis, ia sering kali memperkuat ketimpangan. Dari sisi historis, ia lebih banyak menjadi hak segelintir orang. Secara yuridis, hukum sering kali lemah dalam implementasi. Dari aspek religi, pendidikan seharusnya menjadi jalan pencerahan, tetapi sering kali dikomersialkan.
Lalu, apakah kita harus menyerah? Tidak. Justru karena pendidikan bermutu untuk semua belum terwujud, kita harus terus memperjuangkannya. Bukan sekadar dalam kata-kata, tetapi dalam tindakan nyata. Sebagaimana kata Nelson Mandela, “Education is the most powerful weapon which you can use to change the world.” Namun, senjata ini hanya berguna jika dipegang oleh semua, bukan hanya oleh segelintir orang.
Jika kita berbicara tentang pendidikan bermutu untuk semua, maka kita tidak boleh hanya melihatnya dari sudut pandang ekonomi dan teknologi. Pendidikan yang benar-benar bermutu juga harus mempertimbangkan aspek budaya. Pendidikan yang baik bukan hanya soal kemampuan akademik, tetapi juga soal bagaimana seseorang memahami dan menghormati akar budayanya sendiri.
Di dunia yang semakin mengglobal, tantangannya adalah bagaimana memastikan bahwa pendidikan tetap relevan secara lokal tanpa kehilangan daya saing global. Jika kita gagal dalam hal ini, pendidikan mungkin akan tetap maju, tetapi manusia yang dididik di dalamnya akan kehilangan identitasnya. Maka, pendidikan bermutu bukan hanya tentang sekolah yang canggih, guru yang profesional, atau kurikulum yang modern. Pendidikan bermutu harus menjadi perjalanan yang menghubungkan masa lalu, masa kini, dan masa depan, tanpa melupakan siapa kita sebenarnya.