Jumat, Maret 21, 2025
Google search engine
BerandaLintas BahasaSastra Cerpen: "Bucin, Budak Cinta"

Sastra Cerpen: “Bucin, Budak Cinta”

Oleh: Asep Tapip Yani

Di sebuah warung kopi pinggir jalan, Jono duduk termenung sambil memandangi layar ponselnya. Sesekali ia menarik napas panjang, lalu menghembuskannya berat. Dari tadi, ia hanya membaca ulang chat dari pacarnya, Sinta.

“Mas, kalau kamu benar-benar sayang aku, beliin aku tas baru ya. Aku suka yang ada di mall kemarin. Cuma sejuta kok, Mas.”

Jono menelan ludah. Sejuta itu bukan angka kecil bagi seorang pegawai honorer seperti dirinya. Gajinya sebulan saja pas-pasan buat bayar kos dan makan indomie. Tapi demi cinta, apapun dilakukan!

“Jon, kau kenapa murung begitu? Duit hilang?” tanya Bejo, sohibnya, yang baru saja duduk di sebelahnya.

“Nggak, Jo. Cuma… aku bingung. Sinta minta dibeliin tas sejuta. Aku harus cari cara dapetin duit tambahan.”

Bejo terkekeh: “Astaga, Jon. Kau budak cinta betul! Masa pacarmu minta tas, kau sampai stres begini?”

“Jo, aku cinta sama dia. Aku nggak mau dia kecewa,” kata Jono dengan wajah penuh tekad.

Bejo mengelus dagunya: “Kalau gitu, ada cara cepat buat dapat duit sejuta. Tapi kau harus berani.”

“Apa itu?” tanya Jono penuh harap.

“Ikut lomba makan pedas di warung Pak RT! Hadiahnya sejuta buat yang bisa habiskan 10 piring mie level neraka!”

Jono menatap Bejo dengan mata membulat: “Serius, Jo? Itu gampang! Aku kan sering makan pedas!”

Tanpa pikir panjang, mereka pun menuju warung Pak RT. Jono mendaftar dan langsung berhadapan dengan sepuluh piring mie yang tampak merah menyala. Begitu sendok pertama masuk ke mulutnya, Jono merasa lidahnya terbakar. Keringatnya bercucuran, wajahnya memerah, dan matanya berair.

Bejo di sampingnya memberi semangat: “Ayo, Jon! Demi cinta! Demi tas sejuta!”

Jono menguatkan diri dan terus melahap mie itu. Setiap suapan terasa seperti memakan bara api. Setelah piring keenam, tubuhnya mulai bergetar, keringatnya seperti air pancuran, dan napasnya tersengal.

“Jon, kau baik-baik saja?” tanya Bejo mulai khawatir.

“A-a-aku…” Jono ingin bicara, tapi yang keluar hanya suara serak dan batuk keras. Ia berusaha mengangkat sendok lagi, tapi tangannya gemetar hebat.

Akhirnya, sebelum mencapai piring ketujuh, Jono tumbang! Ia terkapar di lantai dengan mulut terbuka seperti ikan kehabisan air. Pak RT langsung membawanya ke warung sebelah untuk minum susu seember.

Setelah pulih, Jono menatap Bejo dengan wajah penuh duka. “Jo, aku gagal… tas Sinta…”

Bejo menghela napas: “Sudahlah, Jon. Kalau Sinta benar-benar cinta, dia nggak akan suruh kau makan mie neraka demi tas!”

Jono termenung. Benar juga! Kenapa selama ini ia selalu menuruti semua permintaan Sinta tanpa berpikir panjang? Ia lalu mengambil ponselnya dan mengetik pesan.

“Sinta, aku sayang kamu. Tapi aku nggak bisa selalu nurutin semua permintaanmu. Aku juga harus sayang sama diriku sendiri.”

Sinta langsung membalas.”Mas, kalau nggak mau beliin tas ya udah, nggak usah ceramah! Mending kita putus aja!”

Jono terdiam, lalu menatap Bejo. “Jo… aku jomblo sekarang.”

Bejo menepuk bahunya. “Bagus, Jon! Daripada jadi budak cinta, lebih baik bebas!”

Jono menarik napas panjang, lalu tersenyum. “Iya, ya. Eh, jadi kita makan bakso aja yuk?”

“Nah, itu baru Jono yang aku kenal!” kata Bejo sambil menertawakan sahabatnya yang akhirnya terbebas dari jeratan cinta buta.

Beberapa hari kemudian, Jono mulai menyadari betapa banyak uang yang dia habiskan selama ini untuk memenuhi permintaan Sinta. Ia menghitung-hitung pengeluarannya selama pacaran dan terkejut.

“Jo, bayangkan! Kalau aku nabung dari dulu, aku udah bisa beli motor!” kata Jono sambil menepuk dahinya.

Bejo tertawa terbahak-bahak. “Itulah gunanya putus! Sekarang kau bebas dan bisa investasi buat masa depan!”

Jono mengangguk mantap. “Mulai sekarang, aku bukan budak cinta lagi! Aku budak tabungan!”

“Oke, Jon. Saya doakan kamu berhasil. Tabungannya banyak, kebeli motor, dan tak jomblo lagi nantinya”, kata Bejo seraya mendoakan sohibnya.

“Makasih, Jo. Yu, ah! Pulang dulu kita”, Jono mengakhiri obrolan dengan Bejo sang sohib, sambil berdiri dan melangkah meninggalkan Bejo yang masih menyisakan setengah gelas kopinya.

RELATED ARTICLES

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

- Advertisment -
Google search engine
Google search engine
Google search engine
Google search engine
Google search engine
Google search engine
Google search engine

Most Popular

Recent Comments