Kamis, Maret 20, 2025
Google search engine
BerandaLintas DesaPerlon Unggahan, Tradisi Masyarakat Adat Bonokeling Sambut Ramadan

Perlon Unggahan, Tradisi Masyarakat Adat Bonokeling Sambut Ramadan

(Banyumas)-, Masyarakat Adat Bonokeling di Desa Pekuncen, Kecamatan Jatilawang, Kabupaten Banyumas memiliki berbagai tradisi, salah satunya adalah Tradisi Perlon Unggahan yang dilaksanakan Jumat 21 Februari 2025. Tradisi ini dilakukan setiap setahun sekali menjelang bulan Ramadan tiba di daerah lain ada yang menyebut Nyadran.

Menurut Kyai Sumitro juru bicara Komunitas Adat Bonokeling menyampaikan bahwa Perlon Unggahan adalah tradisi turun temurun yang sudah dilakukan ribuan tahun lalu menjelang bulan Ramadhan. Ritual Unggahan atau Sadran merupakan tradisi yang digelar setiap Jumat terakhir pada bulan Ruwah (Syaban) guna menyambut datangnya Ramadhan.

“Makna dari tradisi Unggah-unggahan dan Perlon (keperluan) yang digelar menjelang bulan puasa tidak lain adalah kegiatan masyarakat adat anak cucu Bonokeling berziarah ke makam leluhur. Hal ini merupakan bentuk penghormatan dari Trah Cilacap dan lainya untuk mempererat tali silaturahmi serta sebagai bentuk pembersihan diri sebelum bulan suci Ramadhan tiba,” jelasnya

Tradisi ini juga merujuk pada kebutuhan manusia dan Tuhan, bukan sebalikya yang mencerminkan kesadaran akan ketergantungan manusia pada Sang Pencipta. Dalam tradisi Unggah-unggahan, biasanya orang Cilacap berjalan kaki menuju Pekuncen, Banyumas tanpa menggunakan alas kaki. Tahun ini, anak putu Bonokeling yang datang dari Trah Cilacap dari sejumlah desa seperti Kalikudi, Tambakreja, dan Adiraja, memulai tradisi tersebut dengan berjalan kaki menuju Pekuncen Banyumas pada Kamis 20 Februari 2025. Setelah puncak ritual yang dugelar hari Jumat 21 Februari, mereka akan pulang pada Sabtu 22 Februari 2025.

“Anak putu Bonokeling yang berasal dari Cilacap dan sekitarnya menuju ke sini dengan berjalan kaki sejauh kurang lebih 30 km tanpa menggunakan alas kaki, yang namanya Napak Tilas, ini bermakna manusia harus menyatu dengan alam karena manusia berasal dari tanah dan kembali ke tanah,” jelasnya.

Pada tradisi ini, para Anak putu Bonokeling wajib mengenakan pakaian adat Jawa, seperti kaum wanita hanya memakai kemben (kain jarit) dengan selendang berwarna putih, sedangkan kaum pria harus bepakaian hitam dan memakai kain jarit serta mengenakan iket (ikat kepala).

“Kenapa harus berbaju hitam karena ciri khas Bonokeling itu hitam dan memiliki makna kelanggengan,” terangnya.

Masyarakat adat ini juga masih sangat mempertahankan nilai kejawen dengan tidak memakai kerudung pada saat berziarah ke makam, karena zaman dulu Islam di Jawa belum memakai kerudung. Meski saat ini memasuki zaman modern, tradisi ini tetap diwariskan dari generasi ke generasi

Komunitas Adat Bonokeling ini mempunyai satu juru kunci dan di tambah lima Bedogol (pembantu juru kunci), masing-masing bedogol mempunyai anggota atau anak putu. Orang tua juga bisa mewarisi tradisi ini ke anak-anaknya, namun tidak dilakukan dengan terpaksa.

Agar tradisi ini tetap lestari, Sumitro berharap agar seluruh masyarakat bersama-sama turut menjaga dan melestarikan.

“Jangan sampai menodai tradisi kita dan tidak menolaknya. Marilah bekerja sama untuk melestarikan budaya lokal yang mendunia,” katanya.

Pada tradisi ini, mereka juga ada yang membawa ayam, kambing dan sapi untuk disembelih (kurban).

“Hewan ini dibawa dari orang Cilacap, satu Bedogol ya satu hewan, mereka membawa tanpa perintah atau paksaan, mereka ngasih hewan secara ikhlas asal hewan dengan jenis kelamin laki-laki. Setelah dimasak, nanti malam baru dimakan bersama atau selametan,” lanjutnya.

Masyarakat Adat Bonokeling menganggap laki-laki maupun perempuan itu setara, sehingga laki-laki bertugas sebagai juru masak sementara kaum wanita berdoa di makam.

Acara Perlon Unggahan di Desa Pekuncen ini juga mendapatkan dukungan penuh dari pemerintah desa setempat.

Kades Pekuncen, Karso mengungkap, acara yang dilakukan anak-cucu Bonokeling ini juga menjadi contoh tentang potensi kerukunan, gotong royong, yang sangat luara biasa, yang mungkin tak terjadi di wilayah mana pun di Indonesia.

(Tim Penulis Parsito Humas Pemkab Banyumas, Foto: Deni Rusmana)

RELATED ARTICLES

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

- Advertisment -
Google search engine
Google search engine
Google search engine
Google search engine
Google search engine
Google search engine

Most Popular

Recent Comments