Penulis: Dr. KH. Faqihuddin Abdul Kodir (Penulis dan dosen di IAIN Syekh Nurjati Cirebon, Institut Studi Islam Fahmina (ISIF), dan Wakil Direktur Ma’had Aly Kebon Jambu, Babakan, Ciwaringin, Cirebon)
Isra Mi’raj, sebagai sebuah kisah nyata pada zaman tertentu, dari dan ke tempat tertentu, dalam waktu singkat tertentu, hanya dialami oleh Nabi Saw.
Tetapi sebagai sebuah sumber makna dan inspirasi, ia bisa menjadi teladan bagi siapapun. Secara Mubadalah, karena itu, makna yang kita ambil dan sebarkan adalah yang mengajak laki-laki dan perempuan menjadi subjek pelaku keteladanan di balik kisah tersebut.
Karena kita semua, perempuan dan laki-laki, adalah umat Baginda Nabi SAW. Karena Islam hadir menyapa kita semua, ajarannya turun untuk kita semua, kisah-kisah yang ada juga menjadi sumber inspirasi kita semua.
Dengan demikian, kisah perempuan menjadi penduduk neraka terbanyak harus dijelaskan, sebagai ancaman bagi siapapun yang tidak bersyukur dan ingkar pada kebaikan. Apalagi banyak hadis pendukung yang sahih mengenai hal ini.
Kita harus berhenti mengabarkan: bahwa perempuan akan menjadi penduduk neraka terbanyak, hanya karena perempuan (titik). Karena seseorang masuk Neraka bukan karena berjenis kelamin perempuan. Malaikat Malikpun, tidak memeriksa jenis kelamin. Tetapi iman dan amal.
Karena itu, yang harus kita kabarkan, dari makna Isra Miraj, adalah mereka yang tidak bersyukur dan suka ingkar akan masuk Neraka. Bisa laki-laki dan bisa perempuan. Ini untuk mendorong seseorang memiliki relasi yang sehat, saling menolong dan saling mengapresiasi.
Dan kisah-kisah lain dalam konteks Isra Miraj, termasuk pentingnya dukungan keluarga seperti Khadijah RA kepada perjuangan Nabi Saw, sebagai konteks sebelum Isra Miraj, juga harus dimaknai sebagai teladan secara Mubadalah, untuk saling mendukung satu sama lain di dalam keluarga.
Demikian di antara ngaji Isra Miraj dalam persepektif Mubadalah, bersama pengurus dan anggota Jamiyyah perempuan pengasuh pesantren dan muballighoh (JPPPM)