Oleh: Sukadi (Guru SMA Negeri 1 Bandung, Jawa Barat)
Belakangan ini, nama Gus Miftah menjadi perbincangan hangat di tengah masyarakat. Kasus yang melibatkan salah satu tokoh agama ini menjadi pengingat penting bagi kita tentang betapa besar pengaruh kata-kata yang diucapkan seseorang, terutama bagi mereka yang memiliki posisi sebagai panutan atau public figure. Peristiwa ini menyadarkan kita akan pentingnya menjaga lisan sebagai wujud tanggung jawab sosial dan moral dalam kehidupan sehari-hari. Tanggung jawab ini tidak hanya sebatas pada kata-kata verbal di lisan, tetapi juga dalam menuliskan kata-kata di media, baik media mainstream maupun media sosial.
Lisan Bagai Pedang Bermata Dua
Lisan adalah bagian anugerah besar yang dimiliki manusia. Dengan lisan, seseorang dapat menyampaikan ide, menyemangati, dan membangun. Namun, lisan juga bisa menjadi alat penghancur ketika digunakan dengan cara yang salah. Dalam ajaran agama maupun etika sosial, menjaga lisan telah menjadi salah satu nilai moral yang sangat ditekankan.
Peribahasa “mulutmu harimaumu” mencerminkan bagaimana kata-kata yang keluar dari lisan kita bisa menjadi pedang bermata dua. Di satu sisi, kata-kata dapat memberikan inspirasi, namun di sisi lain, ucapan yang tidak terkontrol dapat melukai perasaan orang lain atau bahkan menimbulkan konflik yang lebih besar. Oleh sebab itu, kita mesti berhati-hati dan waspada dalam menggunakan kata-kata.
Dalam Al Quran surat Al Ahzab ayat 70 – 71 Allah SWT berfirman yang artinya, “Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kamu kepada Allah dan katakanlah perkataan yang benar, niscaya Allah memperbaiki amalan-amalanmu dan mengampuni dosa-dosamu.” Ayat ini secara jelas memerintahkan agar kita berkata yang benar, baik dalam percakapan biasa maupun dalam bercanda. Rasulullah SAW melarang kita mengatakan perkataan yang tidak benar, termasuk dalam bercanda sekalipun.
Pelajaran yang Dapat Dipetik dari Kasus Gus Miftah
Kasus Gus Miftah, yang diakuinya sebagai sebuah candaan, menunjukkan bagaimana sebuah pernyataan yang kontroversial dapat menimbulkan pro dan kontra di masyarakat. Hal ini tidak hanya berdampak pada individu yang bersangkutan, tetapi juga pada komunitas yang diwakilinya. Dalam konteks ini, ada beberapa pelajaran yang dapat dipetik:
- Pentingnya Konteks dalam Pemilihan Kata
Ketika menyampaikan sesuatu, terlebih dalam forum publik, penting untuk memahami konteks dan memilih kata-kata dengan bijak. Apa yang mungkin dimaksudkan sebagai kritik konstruktif dapat disalah artikan, jika disampaikan tanpa kehati-hatian. Mungkin, jika ujaran itu disampaikan saat bercanda dalam konteks warung kopi atau diucapkan oleh orang biasa, kata-kata yang disampaikan Gus Miftah tidak terlalu menjadi masalah. Tapi, karena disampaikan di depan publik dan yang menyampaikan adalah seorang da’i sekaligus pejabat negara, maka ucapan kecil yang dimaksudkan untuk candaan pun akan disikapi dan dirasakan sangat menyakitkan dan menyedihkan. Bahkan, yang merasa sakit boleh jadi bukan hanya yang dikata-katai dengan kata-kata buruk, publik yang menyimak pun merasa tersakiti.
- Responsibilitas Sosial
Sebagai tokoh masyarakat, ucapan seseorang dapat membawa dampak yang jauh lebih luas. Oleh karena itu, tokoh publik memiliki tanggung jawab moral untuk menjaga tutur kata agar tidak menimbulkan keresahan. Sebab, pejabat publik atau public figure ucapan dan perilakunya menjadi sorotan dan perhatian publik. Jika tidak terkendali dan kurang terkontrol, maka ini menjadi masalah tersendiri.
- Budaya Tabayyun
Dalam menghadapi kontroversi, masyarakat juga diingatkan untuk tidak langsung menyimpulkan atau menghakimi. Budaya tabayyun, yaitu memverifikasi dan mencari klarifikasi sebelum membuat penilaian, sangat penting untuk mencegah berkembangnya isu yang tidak benar. Salah satu penyebab keresahan dan konflik sosial adalah karena masih relative rendahnya budaya tabayyun masyarakat. Jika ada informasi yang muncul seringkali tidak di-cross check sehingga mereka dapat terjerumus pada perbuatan yang buruk. Alih-alih membela kebenaran dan kebajikan, malah ia terjerumus ke perbuatan buruk yang lebih buruk dari sumber informasinya.
Menjaga Lisan dalam Kehidupan Sehari-hari
Menjaga lisan bukan hanya tanggung jawab tokoh masyarakat, tetapi juga kewajiban setiap individu. Oleh sebab itu, setiap individu wajib menjaga lisan. Lisan yang tidak terkendali sering menjadi malapetaka, baik bagi diri sendiri maupun bagi orang/pihak lain. Ini termasuk tulisan-tulisan di media, terutama media sosial.
Agar kita tidak terjerumus pada perkataan yang membahayakan dan membawa kepada kehancuran, berikut beberapa langkah sederhana yang dapat dilakukan untuk menjaga lisan dalam kehidupan sehari-hari.
- Berpikir Sebelum Berbicara
Sebelum mengucapkan sesuatu, pikirkan apakah kata-kata tersebut benar, bermanfaat, dan tidak menyakiti perasaan orang lain.
- Menghindari Ucapan yang Menyinggung
Hindari penggunaan kata-kata yang berpotensi menyinggung atau memperkeruh suasana, terutama dalam diskusi yang sensitif.
- Belajar Mendengarkan
Salah satu cara menjaga lisan adalah dengan lebih banyak mendengarkan. Dengan mendengarkan, kita dapat lebih memahami sudut pandang orang lain sebelum memberikan tanggapan.
- Latihan Mengontrol Emosi
Ucapan yang tidak terkontrol sering kali muncul ketika emosi sedang memuncak. Oleh karena itu, belajar mengelola emosi adalah langkah penting untuk menjaga lisan.
Penutup
Kasus Gus Miftah adalah pengingat penting bahwa lisan adalah aset berharga yang harus dijaga dengan bijak. Dalam era digital dan media sosial, di mana setiap kata dapat dengan cepat menyebar, menjaga lisan menjadi semakin penting. Mari kita jadikan peristiwa ini sebagai refleksi untuk lebih berhati-hati dalam berbicara, demi membangun masyarakat yang lebih harmonis dan saling menghormati.
Selain itu, marilah kita menyikapi kasus ini dengan bijak. Tidak berlebihan dalam menilai dan menghakimi seseorang, sebab “no body is perfect” ‘tidak ada manusia yang sempurna’. Gus Miftah adalah salah satu dari sekian banyak orang yang pernah terpeleset dalam berkata-kata. Namun, tidak semua orang yang salah berkata-kata ‘dibuka aibnya’ oleh Allah SWT. Maka, marilah kita bermuhasabah diri, boleh jadi kita pun pernah melakukan hal yang sama, bahkan lebih buruk dari apa yang dilakukan Gus Miftah, namun Allah masih menutupi aib-aib kita.
Semoga kasus ini menjadi pelajaran yang berharga, bukan saja bagi Gus Miftah, tetapi bagi kita semua, sehingga kita tidak mudah melontarkan kata-kata atau ucapan yang bersifat mengadu-domba, ujaran kebencian, dan menistakan seseorang/pihak lain. Apalagi terhadap orang-orang yang kita menaruh rasa benci kepadanya. Sebagai penutup, ingatlah nasihat sederhana: “Jika tidak bisa berkata baik, lebih baik diam.”
(Tulisan ini diadaptasi dan dikembangkan oleh penulis dari Chat GPT)