Penulis: Briliani Da’iyah (Ambasador Media Massa)
Mau speak up sedikit sama kasus yang lagi viral. Kasus ekerasan dalam rumah tangga / KDRT yang dialami selebgram Cut Intan Nabila (peluk jauh). Ada banyak yang bisa diambil pelajarannya.
- Memilih Pasangan
Seperti yang kita ketahui bahwa permasalahan dalam rumah tangga itu beragam, banyak sekali persoalannya. Apa saja bisa jadi masalah. Setelah kita sendiri sudah mempersiapkan diri dengan sebaik-baiknya, tinggal kita memilih calon pasangan. Harus benar-benar selektif dalam memilih calon pasangan. Entah itu mempertimbangkan seberapa siapkah calon pasangan untuk menikah. Kedewasaannya, tanggung jawabnya, kesetiaannya, ibadahnya, ketakwaannya, karakternya, sifatnya, keluarganya, lingkungannya, masa lalunya, cara didikan ortunya, adat istiadatnya dsb. Siap secara fisik, mental, psikologis. Sejalan, setujuan, sefrekuensi, sepemikiran, sehati ga?
Jangankan yang kenal lewat sosmed yang ga semua kita tahu seluk-beluknya. Yang pacaran lama pun hanya akan terlihat sifat aslinya setelah menikah. Jangankan yang jauh yang ga semua kita tahu yang sebenarnya. Yang dekat aja ga semua kita ketahui kehidupannya. Cara didik orang tua kita dengan orang tua calon pasangan berbeda. Yang terdekat misal tetangga saja kalau kita berada di antara mereka sudah sangat terasa perbedaannya. Kehidupannya, adat istiadatnya, kebiasaannya, peraturannya, sifatnya, karakternya, sangat berbeda. Apalagi dengan calon pasangan. Karena menikah inginnya sekali seumur hidup. Tidak ingin menyesal seumur hidup. Kalau dari awalnya sudah ga baik, jangan harap setelah menikah bisa berubah jadi lebih baik. Manusia bisa berubah jika hanya keinginannya sendiri yang ingin berubah. Kita tidak akan bisa mengubah pasangan kita. Kalau sikapnya terhadap kita mungkin bisa, itupun jika benar-benar menyadarinya.
Kalau ga ada jiwa kebapakan, kita akan mengurus anak dan rumah sendirian. Bukan bersama-sama, bahkan soal nafkah pun perhitungan. Mendidik anak sendirian. Patriarki atau sebuah sistem sosial yang menempatkan laki-laki sebagai pemegang kekuasaan utama dan mendominasi dalam peran kepemimpinan politik, otoritas moral, hak sosial dan penguasaan properti. Dalam domain keluarga, sosok yang disebut ayah memiliki otoritas terhadap perempuan, anak-anak dan harta benda.
Pasangan hanya ingin dimengerti, dipahami, dipenuhi segala kebutuhannya namun dia tak ada timbal balik ke kitanya. Padahal kita setara, suami istri berpartner. Kita juga ingin diperlakukan dengan sama, memiliki kebutuhan yang sama. Alangkah bahagianya jika pasangan sama-sama mengurus dan diurus. Ga cuman salah satunya yang diurus benar-benar, sedangkan yang satunya terabaikan.
Jika kita salah dalam memilih pasangan kita akan hidup menderita, jangan harap ada kebahagiaan. Jangan harap ada sakinah, mawaddah, warahmah. Jangan harap anak-anak tumbuh dengan baik.
Memang tidak mudah membaca dan memahami karakter asli seseorang (kecuali mempelajari ilmunya). Butuh bertahun-tahun bahkan puluhan tahun usia pernikahan untuk menyadarinya. Kemudian setelah menyadarinya pun merasa terjebak. Ada orang yang memang mudah mengatakan kondisinya kepada publik, seperti update status di sosmed. Ada pula yang pandai menyimpannya, sehingga rumah tangganya terlihat baik-baik saja. Kehidupannya terlihat bahagia. Karena pandai dalam menutupinya.
Pertanyaannya, mau hidup bersamanya seumur hidup?…
- Bertahan dalam Pernikahan
Setelah menikah walaupun salah pilih pasangan, ga semudah itu memutuskan untuk cerai. Walaupun sudah mati rasa, sudah saling cuek, tinggal bersama namun hidup masing-masing, bahkan sampai ada yang kasus KDRT, perselingkuhan, nonton film biru, mabuk, judi, narkoba, tidak menafkahi, dan segala penyelewengan yang ada. Tapi masih saja bertahan. Karena tidak semudah itu untuk mengambil keputusan. Karena banyak yang dipertimbangkan. Tidak mudah mengambil langkah. Belum ada keberanian. Banyak yang rumah tangganya ada kasus, namun bisa bertahan sampai puluhan tahun, sampai menua, sampai tutup usia sekalipun. Benar-benar bisa mempertahankan sampai di titik itu. Karena memilih bertahan saja, agar langgeng sampai akhir hayat. Apapun kondisinya.
Agar tidak membuat marah pasangan sebenarnya kita cukup “Diam”, bersikap tenang dan tidak peduli dengan segala tingkah, perbuatan, sifat, karakter, perlakuan, penyelewengan, dan apapun yang dilakukan pasangan walaupun kita ga suka dengan hal tersebut. Tapi ya kita jadi mati rasa, kita berasa hidup sendirian. Dijamin hatinya bener-bener perang sendirian, gregeten banget di hati (atau istilah Jawanya mangkel, mededeg).
Bertahan demi anak?
So, ini bener-bener ga bisa dibenarkan. Karena bertahan di rumah tangga yang toxic hanya akan membuat anak tumbuh kurang baik. Saat dia melihat pertengkaran, ketidakharmonisan keluarga, berkata kasar, tanpa saling kasih sayang kedua orang tuanya dan sebagainya. Akhirnya anak tersebut dapat memiliki sifat toxic pula nantinya.
Sekuat apapun bertahan, tetap akan sakit hati dan tak bahagia. Namun melepaskan tidak mudah, butuh waktu. Bertahan tanpa cinta, tanpa ada rasa, tanpa mengharapkan mendapat haknya, hanya menjalankan kewajiban rumah tangga atas dasar mengharap ridho Allah saja. Kalau yang bisa cepat melepaskan sungguh luar biasa mentalnya.
Orang tua kita akan lebih sakit hati jika anaknya tidak bahagia. Perjuangan orang tua tidak mudah untuk melahirkan, merawat, mendidik, membesarkan kita. Orang tua saja sayangnya sepanjang masa. Masa kita mau disia-siakan. Allah saja Maha yang sangat memuliakan kaum perempuan, masa kita mau-maunya didzolimi sama orang yang tak bertanggung jawab.
Kita mulia di pasangan yang tepat, walaupun memiliki kekurangan sekalipun. Diperlakukan dengan baik, jika marah tidak menyakiti. Tapi kita akan disia-siakan jika dengan pasangan yang salah. Selalu ada kekurangan di matanya, mau sebaik apapun kita. Kalau ga benar-benar mencintai, lebih baik jangan menikah dengannya.
Setiap orang memang memiliki kekurangannya masing-masing, memiliki sifat kurang baik pasti ada. Tidak ada manusia sempurna. Namun dihubungan yang sehat tidak ada alasan untuk saling menyakiti pasangannya. Justru adanya kekurangan menjadikan pasangan untuk saling mengerti dan memahami satu sama lain.
Orang normal, ketika salah mau meminta maaf dan introspeksi diri. Orang yang benar-benar mencintai dan sayang pasangannya, ketika terjadi konflik atau setiap ada masalah akan saling mencari solusi bukan saling menyalahkan. Akan kuat disegala kondisi apapun ujian rumah tangga yang silih berganti, kecuali penyelewengan (beda lagi).
- Perempuan Harus Mandiri
Sebelum menikah alangkah lebih baiknya kalau kita telah selesai masa mudanya. Entah dari segi pendidikan, karir ataupun kehidupannya. Agar setelah menikah kita bisa menjadi seorang orang tua yang dewasa, bukan orang tua yang kekanak-kanakan. Sudah puas masa mudanya, misalnya waktu remaja sudah puas belanja apapun yang diinginkan, sudah main kemanapun yang diinginkan, sehingga lebih memprioritaskan kebutuhan anak daripada kebutuhan diri sendiri apalagi untuk gaya hidup daripada kebutuhan anak. Kuliahnya sudah selesai, sudah bekerja, atau tetap produktif dengan keterampilan diri sendiri. Karena setiap orang memiliki pro dan kontranya masing-masing. Setelah menikah ada yang suaminya lebih suka dan akan lebih menghargai jika istrinya tetap bekerja, ada yang suaminya lebih suka dan lebih menghargai pula jika istrinya di rumah saja.
Setidaknya ketika suami sibuk dengan dunianya sendiri, kita juga menyibukkan diri pula dengan hal-hal yang positif. Jadi tidak terlalu merasa kesepian hidupnya. Ketika suami kurang bertanggung jawab kita tidak akan terlantar olehnya. Dan ketika berpisah dengan suami kita sudah terbiasa hidup mandiri. Tanpa kemelekatan.
Seenggak biasanya perempuan, suatu saat pasti bisa mandiri secara finansial. Bahkan banyak pula dalam rumah tangga yang mendominasi mencukupi kebutuhan hidup adalah seorang ibu. Karena perempuan sebenarnya memiliki banyak potensi, hanya saja belum disadari dan belum tersalurkan.