(Jakarta)-, Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) Bidang PRK Prof Amany Lubis menyatakan, program pesantren lansia merupakan program unggulan dan berkelanjutan dari MUI. Hal itu disampaikan oleh Prof Amany pada Rapat Konsinyering dan Review Konsep, Kurikulum dan Sosialisasi Pesantren Lansia Birul Walidain.
“Kita mengadakan konsiyering dalam rangka menyempurnakan konsep pesantren lansia, ini menjadi program unggulan, dan ini akan berkelanjutan, dan ini akan terus berlanjut,” ujarnya.
Prof Amany menuturkan, program ini dilaksanakan untuk menghormati orang tua agar hidupnya tetap bermanfaat untuk masyarakat.
Prof Amany mengungkapkan, modernisasi dan tantangan saat ini menyebabkan semakin banyak orang tua yang telantar akibat kurangnya perhatian dan terjaga spiritualnya.
“Maka Pesantren Lansia Birul Walidain yang artinya berbakti kepada orang tua. Nama ini dipilih, karena umum agar berbakti kepada orang tua dan semua bisa memahami secara optimistik,” sambungnya.

Prof Amany menjelaskan, pesantren lansia akan memperhatikan semua aspek, dari segi fisik, rohani, psikis dan sosial serta keagamaan dari lansia.
“Saya mengucapkan terimakasih kepada tim kecil dan mitra dari rumah zakat. Tentu MUI secara serius bisa melaksanakan program ini. MUI Pusat harus jadi pelopor untuk MUI Provinsi,” ungkapnya.
Menurutnya, tidak ada ruginya dalam melaksanakan program pesantren lansia. “Kami juga dalam hal ini sedang memberikan konsep ponpes lansia, dan kami ingin masukkan. Di masyarakat sudah dimasukkan konsep seperti ini, ada yang tiga hari, sepekan, ada juga yang tiga bulan, ada juga yang dipondokkan,” ungkapnya.
Kegiatan ini dihadiri oleh sejumlah tokoh di antaranya Sekjen MUI Buya Amirsyah Tambunan, Ketua MUI Bidang PRK Prof Amany Lubis, Ketua MUI Bidang Dakwah dan Ukhuwah KH Cholil Nafis, dan Ketua MUI Bidang Pendidikan dan Kaderisasi KH Abdullah Jaidi.
Selain itu, hadir Asdep Bidang Perempuan dalam Rumah Tangga dan Rentan KPPPA Eni Widiyanti, Plt Direktur Jenderal Rehabilitasi Kemensos RI Pepen Nazarudin, Direktur Pendidikan Diniyah dan Pondok Pesantren Kemenag RI Basnang Said, dan Deputi Bidang Keluarga Sejahtera dan Pemberdayaan Keluarga BKKBN Nopian Andusti.
Sekretaris Jenderal (Sekjen) Majelis Ulama Indonesia (MUI) Buya Amirsyah Tambunan memuji program kurikulum pondok pesantren lansia yang diinisiasi oleh Komisi Perempuan, Remaja, dan Keluarga (KPRK) MUI.
Menurutnya, program tersebut merupakan tanggung jawab MUI dalam bidang kemasyarakatan kepada sekelompok atau bagian orang di masyarakat yang masa usia di KTP mulai 60 tahun.
“Konsep Islam amat sangat memuliakan semua jenjang usia. KPRK akan membuat kurikulum (ponpes lansia), saya menyebutnya ‘kurikulum kehidupan,” ungkapnya dikutip dari keterangan yang diterima MUIDigital di Jakarta.
Buya Amirsyah menerangkan, sepanjang hidup harus dinikmati dengan kondisi yang sehat, sejahtera, dan bahagia. Dalam konsep birrul walidain, Buya Amirsyah menerangkan, Rasulullah SAW memberi penegasan agar jangan sampai ada yang menjadi orang yang hidupnya sia-sia.
“Wajib menaati kedua orang tua selama tidak bermaksiat kepada Allah,” sambungnya
Direktur Pendidikan Diniyah dan Pondok Pesantren Kementerian Agama RI, Basnang Said menekankan pentingnya pembentukan pesantren lansia yang tidak hanya memperhatikan aspek substansi tetapi juga legalitas.
“Semua orang akan kembali ke kejadian semula. Ketika kita masih anak-anak kita diasuh dengan baik, tetapi kalau anak merawat orang tua harus pamrih,” ujarnya.
Basnang juga menjelaskan beberapa poin penting mengenai pesantren lansia yang akan didirikan. Pesantren ini harus memiliki sarana dan prasarana yang memadai, termasuk asrama, tempat tinggal, serta tempat ibadah yang representatif.
Selain itu, dia mengingatkan dokumen cinta NKRI dan toleransi terhadap siapapun harus menjadi bagian dari arkanul ma’had (pilar pesantren). Semangat kemandirian dan keikhlasan juga harus dijunjung tinggi dalam pengelolaan pesantren ini.
Sedangkan kurikulum yang diterapkan di pesantren lansia harus mencakup pendidikan formal dan nonformal. Untuk pendidikan formal, pesantren dapat memilih antara pendidikan diniyah formal, mu’adalah, atau mahad ali.
Sementara itu, pendidikan nonformal dapat dibagi menjadi dua, yaitu berjenjang dan tidak berjenjang.
Pendidikan berjenjang akan fokus pada penguatan ilmu kitab, sementara pendidikan tidak berjenjang akan lebih menekankan pada ilmu yang mendekatkan kepada Allah SWT.
“Jika tidak ada ilmu umum, yang penting adalah ilmu substansial, seperti ilmu akidah, sifat wajib 20, dan sifat jaiz Allah,” tambah Basnang Said.
Dia menjelaskan, pesantren juga harus memastikan kemampuan jamaah dalam hal akidah dan membaca Alquran. Jika jamaah memiliki amaliyah NU, misalnya, mereka bisa diproyeksikan untuk mengikuti tarekat seperti Naqsabandiyah atau Syadziliyah dengan mendatangkan mursyid yang kompeten.
Tidak hanya aspek pendidikan, kesejahteraan ekonomi santri juga menjadi perhatian. Pesantren lansia harus mengakomodasi santri dari berbagai latar belakang ekonomi, baik yang mapan maupun kurang mampu.
“Santri yang mapan bisa menjadi muzakki (pemberi zakat) untuk membantu yang kurang mampu,” jelas Basnang Said. Pesantren ini diharapkan dapat menciptakan lingkungan yang inklusif dan mendukung bagi semua santri.
Nama “Birrul Walidain” dipilih untuk pesantren lansia ini. Makna Birrul Walidain adalah berbuat baik kepada orang tua, yang diharapkan dapat menjadi inspirasi bagi anak-anak untuk merawat orang tua mereka dengan penuh kasih sayang dan tanggung jawab.
Pesantren Lansia Birrul Walidain merupakan inisiatif yang sangat positif dalam upaya meningkatkan kualitas hidup lansia di Indonesia. Dengan konsep dan kurikulum yang komprehensif, serta dukungan dari berbagai pihak, pesantren ini diharapkan dapat menjadi model bagi pesantren lainnya dalam memberikan perhatian khusus kepada lansia.
“Perlu ada assessment kepada peserta santri, siapa tahu ada yang sudah ikut tarekat, yang menunjukkan pentingnya pemetaan dan penilaian kebutuhan santri secara menyeluruh”
(Sumber: mui.or.id)